Target 16.7: Menjamin pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan representatif di setiap tingkatan
Bappenas, 24 Oktober 2017
Pendahuluan
Target 16.7 : Menjamin pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan representatif di setiap tingkatan
Kerangka Tata Kelola Politik yang Partisipatif, Adil, dan Setara
Politik dalam konsepsi Susan C. Stokes (2013) dimaknai sebagai sebuah proses pengalokasian dan pendistribusian sumber daya (resources) untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat secara politik dan ekonomi. Sumber daya adalah sesuatu yang memampukan masyarakat untuk menggapai kualitas hidup yang lebih baik. Sumber daya negara dialokasikan oleh pemerintah dan dewan dalam instrumen legislasi dan budgeting. Selanjutnya sumber daya ditransformasi dan didsitribusikan oleh pemerintah melalui birokrasi dalam implementasi kebijakan dan program pembangunan bagi masyarakat.
Kunci dari tata kelola politik yang demokratis adalah memastikan proses alokasi dan distribusi sumber daya dilakukan secara partisipatif, adil, dan setara. Pembangunan politik dilakukan untuk memastikan bahwa institusi dan lembaga politik bekerja dan menjalankan fungsinya untuk membuka, memberikan, dan memastikan akses kepada sumber daya dan kebutuhan dasar masyarakat yang masih mengalami kesenjangan, ketidaksetaraan dan ketimpangan.
Demokrasi masih menurut Stokes (2013) bukan hanya sekadar mendorong partisipasi masyarakat dalam ikut pemilu dan menentukan pemimpinnya, tetapi mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan ekonomi politik, yaitu proses alokasi dan distribusi sumber daya mulai dari pemetaan kebutuhan dan kepentingan, perencanaan, hingga pengawasan. Peran masyarakat sipil dan media menjadi penting untuk menjembatani pengambil kebijakan dengan masyarakat dalam bingkai demokrasi.
Usulan Program dan Kegiatan : Pendidikan Politik
Didukung melalui pembuatan Modul dan Materi Pendidikan Politik yang memberikan perspektif politik bagi masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pemetaan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan bersama, perencanaan, hingga pengawasan pembangunan. Pendidikan politik bukan sekadar pendidikan pemilih untuk memilih pemimpin dan wakilnya. Pendidikan politik menjadi tugas bagi pemerintah melalui kementrian dan lembaga, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil.
Pelaksanaan Pendidikan Politik bukan dalam ruang/kelas tetapi dengan menciptakan ruang-ruang keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya. Pada UU No.6 tahun 2014 tentang Desa telah mengakomodir ruang keterlibatan masyarakat dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya dalam mekanisme musyawarah desa (Penentuan RPJMDes, RKPDes, APBDes; membuat peraturan desa; masuk dan hadirnya investasi pihak luar; pemberian hibah pihak ketiga, pelepasan aset, pendirian Bumdes). Dorongan partisipasi politik dalam perencanaan pembangunan harus dimulai dari bawah dan unit spasial politik terkecil yakni desa. Diperlukan inovasi dan model perencanaan yang berbeda dari model musrenbang selama ini yang sangat prosedural dan sekadar mencari legitimasi semata. (CWI memiliki beberapa kajian terkait menghadirkan model tata kelola politik yang partisipatif, diantaranya riset yang bekerjasama dengan Kemenko PMK dan riset dengan direktorat politik dan komunikasi Bappenas).
Selama ini proses pemilu dianggap terpisah dari proses perencanaan pembangunan. Pemilu seharusnya merupakan bagian dari siklus perencaan pembangunan. Proses alokasi dan distribusi sumber daya dimulai sejak tahapan pemilu, karena sesuai amanat UU Penyelenggaraan Pemilu bahwa visi dan misi pemenang pemilu akan menjadi rujukan bagi RPJMN/RPJMD. Sehingga tahapan pemilu harus menjadi ruang deliberasi bagi rakyat untuk memastikan sejak awal agar aspirasi, kebutuhan, dan kepentingannya diakomodir dalam dokumen visi dan misi, dan terus dikawal hingga perumusan RPJMN/D ketika pemimpin terpilih. Selama ini proses pemilu dianggap sesuatu yang terpisah dari proses perumusan RPJMN/D dan perencanaan pembangunan lainnya. Padahal itu merupakan proses politik dalam kesatuan siklus, tentang mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya.
Usulan Indikator SDGs untuk target 16.7 :
- Menjadikan angka partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam forum public hearing, musrenbang (Desa, kecamatan, Kabupaten/kota, Propinsi), musdes (di tingkat desa untuk perumusan RKP dan APBDes)
- Menjadikan angka partisipasi dan keterlibatan kelompok Perempuan, difabel, dan marginal lainnya dalam forum public hearing, musrenbang (Desa, kecamatan, Kabupaten/kota, Propinsi), musyawara desa (di tingkat desa untuk perumusan RKP dan APBDes)
- Selain tentunya angka partisipasi pemilih menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum (Presiden, Legislatif, Kepala Daerah)
Target 16.7.1 (a) : Persentase keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ; Target 16.7.1 (b): Persentase keterwakilan perempuan sebagai pengambilan keputusan di lembaga eksekutif (Eselon I dan II)
Target Peningkatan representasi perempuan pada ranah eksekutif/birokrasi, legislatif, kepengurusan partai politik dan lembaga penyelenggara pemilu.
Representasi Perempuan dalam Ranah Legislatif
Konsep representasi menghadirkan situasi yang paradoks, karena konsep representasi hanya dapat berjalan dan bekerja jika pra syarat utamanya yaitu ketidakhadiran yang diwakili dipenuhi. Artinya Ini sebuah fakta bahwa representasi politik tidak akan menghadirkan representasi kepentingan dan identitas secara sempurna, hanya separuh atau sebagian. Sebagai konsekuensinya, representasi bisa saja hanya tentang klaim semata bukan sebuah fakta representasi. Untuk itu membuka ruang partisipasi dan keterlibatan adalah aspek penting untuk megatasi bias representasi. Pemilu adalah mekanisme bagaimana sebuah konsep representasi politik formal dicapai dan memperoleh legitimasi. Pemilu akan selalu menghasilkan ketimpangan representasi identitas dan kepentingan populasi. Dalam kerangka meminimalkan bias antara proses pemilu dengan hasil pemilu yang akan selalu menghadirkan under-representation, maka salah satunya dibutuhkan affirmative action untuk memberikan akses pada ‘proses memilih pilihan yang lebih representatif’ ataupun pada ‘hasil untuk lebih dekat pada kondisi yang representatif’
Di Indonesia affirmative action diterapkan dengan minimal angka pencalonan sebesar 30%. Harapannya komposisi minimal 30% keterwakilan perempuan juga bisa diterapkan di kepengurusan partai politik.
Jumlah dan Persentase Anggota Perempuan DPR RI Hasil Pemilu 1999 – 2014
Tahun Pemilu | Jumlah Total Anggota DPR RI | Jumlah Perempuan Anggota DPR RI | Persentase |
1999 | 500 | 45 | 9,00 |
2004 | 550 | 61 | 11,09 |
2009 | 560 | 101 | 17,86 |
2014 | 560 | 97 | 17,3 |
Sumber : KPU, diolah oleh Cakra Wikara Indonesia |
Pada pemilu tahun 2014 lalu, dari 77 Daerah Pemilihan di tingkat nasional, didapatkan angka rata-rata pencalonan perempuan sebesar 36.92% . Dari angka pencalonan tersebut, perolehan suara caleg perempuan sebesar 23 % dari total suara sah (caleg laki-laki memperoleh 77% suara sah). Sementara perolehan kursi di parlemen, perempuan menduduki 17% kursi atau 97 dari 560 Kursi.
Sebagai catatan, berikut sejumlah dapil yang angka pencalonannya masih di bawah rata-rata yaitu:
No. | Daerah Pemilihan | Alokasi Kursi | Total Caleg | Jumlah Caleg Perempuan | % Caleg Perempuan |
1 | BANTEN 2 | 6 | 71 | 26 | 36.62 |
2 | JATIM 1 | 10 | 118 | 43 | 36.44 |
3 | SUMSEL 2 | 9 | 105 | 38 | 36.19 |
4 | LAMPUNG 2 | 9 | 105 | 38 | 36.19 |
5 | BABEL | 3 | 36 | 13 | 36.11 |
6 | SULBAR | 3 | 36 | 13 | 36.11 |
7 | JATIM 6 | 9 | 103 | 37 | 35.92 |
8 | NTT 1 | 6 | 67 | 24 | 35.82 |
9 | JATIM 10 | 6 | 70 | 25 | 35.71 |
10 | JATIM 9 | 6 | 71 | 25 | 35.21 |
11 | KALSEL 1 | 6 | 71 | 25 | 35.21 |
12 | JATENG 3 | 9 | 108 | 38 | 35.19 |
13 | BALI | 9 | 100 | 35 | 35 |
14 | JABAR 8 | 9 | 106 | 37 | 34.91 |
15 | KALTENG | 6 | 72 | 25 | 34.72 |
16 | JABAR 3 | 9 | 105 | 36 | 34.29 |
17 | SUMBAR 2 | 6 | 71 | 24 | 33.8 |
18 | JABAR 4 | 6 | 71 | 24 | 33.8 |
19 | JABAR 6 | 6 | 71 | 24 | 33.8 |
20 | JABAR 5 | 9 | 104 | 35 | 33.65 |
21 | NAD 2 | 6 | 72 | 24 | 33.33 |
22 | RIAU 1 | 6 | 72 | 24 | 33.33 |
23 | DKI 1 | 6 | 72 | 24 | 33.33 |
24 | SULTENG | 6 | 72 | 24 | 33.33 |
25 | SULSEL 2 | 9 | 108 | 36 | 33.33 |
26 | SUMUT 2 | 10 | 118 | 39 | 33.05 |
27 | LAMPUNG 1 | 9 | 116 | 38 | 32.76 |
28 | JABAR 2 | 10 | 119 | 38 | 31.93 |
29 | JABAR 7 | 10 | 119 | 38 | 31.93 |
30 | BANTEN 3 | 10 | 119 | 38 | 31.93 |
31 | KALBAR | 10 | 119 | 38 | 31.93 |
32 | PAPUA | 10 | 114 | 36 | 31.58 |
33 | SUMUT 1 | 10 | 119 | 37 | 31.09 |
34 | JABAR 11 | 10 | 120 | 37 | 30.83 |
35 | NTB | 10 | 120 | 37 | 30.83 |
36 | JATIM 8 | 10 | 117 | 36 | 30.77 |
37 | SUMUT 3 | 10 | 119 | 36 | 30.25 |
Sumber : KPU, diolah oleh Cakra Wikara Indonesia |
Tingkat Propinsi : Representasi Perempuan pada DPRD Provinsi di Indonesia
NO | DPRD PROVINSI | KURSI | KURSI LAKI-LAKI | % KURSI LAKI-LAKI | KURSI PEREM-PUAN | % KURSI PEREM-PUAN |
1 | SULUT | 45 | 31 | 68.89% | 14 | 31.11% |
2 | RIAU | 65 | 47 | 72.31% | 18 | 27.69% |
3 | GORONTALO | 45 | 33 | 73.33% | 12 | 26.67% |
4 | MALUKU | 45 | 33 | 73.33% | 12 | 26.67% |
5 | JATENG | 100 | 77 | 77.00% | 23 | 23.00% |
6 | JABAR | 100 | 78 | 78.00% | 22 | 22.00% |
7 | BANTEN | 85 | 69 | 81.18% | 16 | 18.82% |
8 | SULSEL | 85 | 69 | 81.18% | 16 | 18.82% |
9 | DKI JAKARTA | 106 | 87 | 82.08% | 19 | 17.92% |
10 | BENGKULU | 45 | 37 | 82.22% | 8 | 17.78% |
11 | SULTENG | 45 | 37 | 82.22% | 8 | 17.78% |
12 | SULBAR | 45 | 37 | 82.22% | 8 | 17.78% |
13 | LAMPUNG | 85 | 71 | 83.53% | 14 | 16.47% |
14 | SULTENG | 45 | 38 | 84.44% | 7 | 15.56% |
15 | ACEH | 81 | 69 | 85.19% | 12 | 14.81% |
16 | KEPRI | 45 | 39 | 86.67% | 6 | 13.33% |
17 | SUMUT | 100 | 87 | 87.00% | 13 | 13.00% |
18 | JATIM | 100 | 87 | 87.00% | 13 | 13.00% |
19 | JAMBI | 55 | 48 | 87.27% | 7 | 12.73% |
20 | KALSEL | 55 | 48 | 87.27% | 7 | 12.73% |
21 | BABEL | 45 | 40 | 88.89% | 5 | 11.11% |
22 | DIY | 55 | 49 | 89.09% | 6 | 10.91% |
23 | KALTIM | 55 | 49 | 89.09% | 6 | 10.91% |
24 | KALBAR | 65 | 58 | 89.23% | 7 | 10.77% |
25 | PAPUA | 57 | 51 | 89.47% | 6 | 10.53% |
26 | SUMBAR | 65 | 59 | 90.77% | 6 | 9.23% |
27 | NTT | 65 | 59 | 90.77% | 6 | 9.23% |
28 | BALI | 55 | 50 | 90.91% | 5 | 9.09% |
29 | MALUT | 45 | 41 | 91.11% | 4 | 8.89% |
30 | NTB | 65 | 60 | 92.31% | 5 | 7.69% |
31 | SUMSEL | 75 | 72 | 96.00% | 3 | 4.00% |
32 | PAPUA BARAT | 45 | 44 | 97.78% | 1 | 2.22% |
33 | KALTENG | 45 | 45 | 100.00% | 0 | 0.00% |
34 | TOTAL | 2114 | 1799 | 85.10% | 315 | 14.90% |
Sumber : KPU, diolah oleh Cakra Wikara Indonesia |
Tingkat Kabupaten/Kota : Representasi Perempuan pada DPRD Kab/Kota di Indonesia*
*Data tersedia dan bisa diakses melalui CWI
Representasi Perempuan dalam Ranah Eksekutif
Konsep representasi menempati posisi penting dalam studi politik dan studi administrasi Publik. Birokrasi representatif dimaknasi sebagai microcosmos atau minatur dari masyarakat yang ideal secara kaseluruhan (Kenneth Kernaghan, 1991). Mengarah pada terpenuhinya syarat keragaman variabel termasuk ras/etnis, gender, agama, pendidikan, kelas sosial, tempat lahir, bahasa dan asal daerah.
Untuk representasi perempuan di ranah eksekutif, Selanjutnya di bawah ini adalah data terpilah jumlah PNS di 34 kementerian dan LAN serta BKN pada tahun 2014, 2015 dan 2016
Jumlah PNS di 34 Kementerian dan dua lembaga negara (LAN dan BKN)
Tahun | Jumlah Total PNS di 34 Kementerian, LAN dan BKN | Jumlah PNS Laki-Laki | Jumlah PNS Perempuan | % PNS Perempuan |
2014 | 371.936 | 233.612 | 138.324 | 37.19 |
2015 | 860.175 | 525.777 | 334.398 | 38,88 |
2016 | 821.818 | 496.616 | 325.202 | 39,57 |
Sumber: BKN, diolah oleh Cakra Wikara Indonesia |
Data di atas menunjukkan jumlah PNS laki-laki secara keseluruhan masih jauh di atas jumlah PNS perempuan. Setelah ditelusuri lagi, ketimpangan semakin terlihat di tingkatan eselon, dengan semakin hilangnya PNS perempuan dalam jabatan-jabatan tinggi. Data berikut memperlihatkan hal tersebut:
Perbandingan Persentase PNS Eselon 2014-2016
Tahun | Persentase PNS Laki-Laki Eselon | Persentase PNS Perempuan Eselon |
2014 | 77,25 | 22,75 |
2015 | 77,83 | 22,17 |
2016 | 74,13 | 25,87 |
Sumber: BKN, diolah oleh Cakra Wikara Indonesia |
*Untuk data Perbandingan Persentase Laki dengan Perempuan pada Eselon 1 dan Eselon 2 di tiap Kementerian dari tahun 2014-2016, bisa diakses melalui dokumen riset Cakra Wikara Indonesia.
Representasi Perempuan dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu
Keterwakilan perempuan pun masih sangat rendah. Berikut data terpilah jumlah anggota lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di tingkat nasional:
KPU RI
Periode Kerja | Laki-laki | Perempuan |
2002-2007 | 5 | 2 |
2007-2012 | 4 | 3 |
2012-2017 | 6 | 1 |
2017-2022 | 6 | 1 |
Saat ini di KPU RI periode 2017-2022, dari 7 orang anggota hanya ada 1 orang perempuan (14,28%). Sementara di KPU tingkat provinsi periode 2013-2018 dari total 172 anggota, hanya ada 34 orang perempuan (20% P, 80% L).
Selanjutnya adalah data untuk Bawaslu:
BAWASLU RI
Periode Kerja | Laki-laki | Perempuan |
2008-2012 | 2 | 3 |
2012-2017 | 5 | 1 |
2017-2022 | 5 | 1 |
Saat ini di Bawaslu RI periode 2017-2022, dari 5 orang anggota hanya ada 1 perempuan (20%). Sementara di Bawaslu tingkat provinsi periode 2013-2018 dari total 102 anggota, hanya ada 19 orang perempuan (19% P, 81% L).
Usulan indikator Target 16.7.1 (a) dan (b)
- Angka keterwakilan perempuan untuk DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kab/Kota
- Angka Keterwakilan perempuan di jajaran pengurus partai politik di tingkat pusat dan daerah
- Angka keterwakilan perempuan untuk jabatan eselon 1 dan eselon 2 di birokrasi pemerintahan
- Angka keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu baik di tingkat pusat dan daerah
Usulan program dan kegiatan Target 16.7.1 (a) dan (b)
- Pembuatan modul pendidikan politik dan gender dalam pemilu; dan Pembuatan modul pendidikan politik dan gender dalam birokrasi yang representatif
- Pendidikan Politik, penguatan kapasitas dan strategi menghadapi pemilu bagi caleg perempuan di wilayah dapil, propinsi, dan kab/kota yang rendah keterwakilan dan pencalonan perempuannya
- Pendidikan politik dan gender bagi PNS Laki-laki dan perempuan di birokrasi
- Pendidikan politik dan penguatan kapasitas bagi perempuan untuk mendaftar menjadi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) baik di tingkat pusat dan daerah