Minimnya kehadiran aparatur sipil negara (ASN) perempuan pada posisi struktural, terutama Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) menjadi awal yang memicu rancangan riset ini. Sebagai lembaga riset politik dengan perspektif gender, Cakra Wikara Indonesia (CWI) telah melakukan studi awal pada tahun 2017 tentang ketimpangan jumlah ASN perempuan pada birokrasi di bawah wewenang kantor kementerian. Studi awal tersebut menemukan sejumlah hambatan yang dialami ASN perempuan dalam mengupayakan promosi karirnya mencakup beragam kendala pada budaya kerja yang abai terhadap norma gender, yang membatasi ruang gerak ASN perempuan serta melestarikan stereotip gender. Telaah temuan riset menunjukkan beragam hambatan yang dialami ASN perempuan di tempat kerja erat hubungannya dengan ketidaksetaraan di ruang privat yang mencakup pemenuhan peran reproduktif seperti membesarkan anak, mengasuh, merawat, dan memelihara anggota keluarga lainnya.
Data terpilah ASN di 34 Kementerian yang diolah kembali oleh CWI menunjukkan bahwa angka rata-rata jumlah ASN perempuan cenderung meningkat dalam kurun waktu 2014 – 2020 namun masih minim yang berhasil menduduki posisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Data resmi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan persentase angka rata-rata nasional keterwakilan perempuan pada JPT (madya dan pratama) hanya mencapai 19,06%. Pengecualian angka rata-rata ASN perempuan di JPT lebih tinggi dibandingkan laki-laki hanya terdapat di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Meski begitu, terdapat 15 kementerian yang persentase angka rata-rata keterwakilan perempuan di JPT lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Dalam konteks inilah, CWI mencoba menggali pengalaman para ASN perempuan yang duduk di JPT pada lima kantor kementerian dengan representasi perempuan cukup baik pada JPT yakni: Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Keragaman tugas pokok dan fungsi serta konsentrasi isu tiap kementerian ikut menjadi pertimbangan.
Dalam literatur teoritik, konsep “birokrasi representatif” ditawarkan sebagai bentuk ideal birokrasi yang keragaman unsurnya mewakili, bahkan mencerminkan, pluralitas publik yang dilayani. Semakin baik keterwakilan dalam unsur birokrasi merefleksikan publik, semakin baik pula layanan birokrasi tersebut dalam merespon ragam kebutuhan masyarakat (Selden 1997, Ballard 2015). Literatur teori birokrasi representatif juga mengingatkan keterwakilan yang dimaksud mencakup identitas gender, ras, suku, dan lain-lain. Riset ini membatasi hanya pada representasi berbasis identitas gender atas argumen kesetaraan. Data resmi hasil sensus penduduk tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 102 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan (Berita Resmi Statistik 07/01/XXIV, 21 Januari 2021). Dalam konteks birokrasi representatif, komposisi penduduk Indonesia cukup menjadi landasan untuk mendorong komitmen dibangunnya kesetaraan pada jabatan kepemimpinan birokrasi kementerian.
Data primer yang didapat dari wawancara dengan sejumlah kementerian mengungkap bahwa prestasi ASN perempuan kerap kali unggul dibandingkan laki-laki. Minimnya jumlah ASN perempuan di pimpinan tinggi birokrasi kementerian bukan masalah krisis jumlah ASN perempuan ataupun kurangnya kompetensi mereka. Masih rendahnya jumlah ASN perempuan di jabatan pimpinan lebih merupakan akibat dari pemenuhan peran reproduktif yang berbenturan dengan tuntutan peran produktif di tempat kerja, terutama ketika ukuran kinerja disandarkan terutama pada kehadiran.
Minimnya ASN perempuan menduduki JPT lebih disebabkan oleh keengganan mereka mendaftarkan diri mengikuti proses promosi jabatan. Keengganan sejumlah ASN perempuan potensial untuk mengikuti proses kenaikan pangkat perlu dipahami secara utuh dengan melihat sistem norma gender yang dominan berlaku di tengah masyarakat Indonesia. Dalam sebagian besar keluarga di Indonesia, peran reproduktif masih dibebankan secara eksklusif pada perempuan. Problem ketersediaan waktu serta kehadiran fisik menjadi dua hal yang seringkali dikeluhkan oleh ASN perempuan potensial yang akhirnya memilih untuk menghentikan pengembangan karirnya demi pemenuhan peran reproduktifnya. Ini dapat berdampak langsung pada pengambilan keputusan sebagian besar ASN perempuan ketika dihadapkan pada peluang pengembangan karir.
Kekhawatiran tentang alokasi waktu serta intensitas kehadiran fisik untuk memenuhi tuntutan pekerjaan menjadi pertimbangan utama yang membuat ASN perempuan urung mengembangkan karirnya. Dengan kata lain, hambatan di tempat kerja berawal dari persoalan di ruang privat yakni pemenuhan tanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga. Wawancara mendalam dengan sepuluh orang ASN perempuan pimpinan tinggi di lima kementerian target riset ini mengkonfirmasi sangat pentingnya peran pimpinan dalam mendorong upaya pemenuhan prinsip kesetaraan keterwakilan perempuan di JPT. Hambatan yang dialami ASN perempuan untuk kenaikan jabatan hanya dapat dikenali dengan menggunakan perspektif kesetaraan karena ketimpangan pembagian tanggung jawab domestik seringkali menjadi awal persoalan dan tidak selalu kasat mata.
Inisiatif Kementerian PPN/Bappenas sejak pra-pandemi menerapkan skema flexible working arrangement (FWA) untuk mengakomodir kebutuhan khas ASN perempuan terkait alokasi waktu bekerja berbasis kehadiran menjadi penting dan relevan untuk dikaji dan difasilitasi secara kelembagaan kementerian. Perlu diakui ada keterbatasan kesiapan infrastruktur serta isu atau nomenklatur kementerian tertentu yang masih mensyaratkan ASN untuk hadir secara fisik dalam menjalankan pekerjaannya. Belum lagi keragaman situasi domestik yang kadang justru menambah kerumitan masalah karena seorang ASN perempuan yang bekerja di rumah mengalami kelelahan kronis akibat beban kerja berlapis terkait pemenuhan fungsi produktif dan reproduktif yang dipikul sendirian. Prinsip penerapan FWA mengembangkan penilaian kinerja berbasis hasil, bukan pada kehadiran menjadi pilihan peluang kebijakan strategis untuk mengatasi hambatan perempuan yang kesulitan membagi pemenuhan tanggung jawab di ruang publik dan privat. Perkembangan situasi pandemi telah memaksa kita beradaptasi dengan mekanisme kerja jarak jauh dan membuktikan bahwa produktivitas kerja dapat tetap terpenuhi.
Sejalan pentingnya mendorong jajaran pimpinan tinggi birokrasi untuk memiliki perspektif kesetaraan lewat pendidikan dan pelatihan, penerapan FWA juga perlu dipertimbangkan lebih serius untuk diadopsi secara resmi dan melembaga di sebagian besar kementerian. Pemenuhan prinsip kesetaraan yang menjadi elemen dari birokrasi representatif dapat dilakukan tanpa mencederai prinsip meritokrasi serta profesionalisme ASN karena keunggulan prestasi ASN perempuan telah diakui oleh sejumlah kementerian.
Sebaik-baiknya rumusan aturan formal tentang rekrutmen dan promosi jabatan di tempat kerja, jika substansinya mengabaikan persoalan pemenuhan tanggung jawab serta peran produktif dan reproduktif yang dialami sebagian besar ASN perempuan maka upaya membangun kesetaraan akan terus terhambat. Riset ini menemukan kelima kementerian yang cukup baik keterwakilan ASN perempuannya di posisi JPT tetap tunduk pada aturan formal yang ada sambil menerapkan sejumlah kebijakan inovatif yang memfasilitasi ASN perempuan untuk bekerja optimal. Budaya kerja yang mengapresiasi prestasi ASN perempuan dan penerapan skema kerja fleksibel yang memprioritaskan hasil alih-alih kehadiran menjadi dua opsi strategis bagi kantor kementerian untuk membangun kesetaraan.
Riset ini dapat terlaksana dengan dukungan penuh Knowledge Sector Initiatives (KSI) dan pihak-pihak yang berkomitmen penuh pada pemenuhan prinsip kesetaraan gender. Untuk itu, CWI juga berterima kasih atas dukungan serta kerjasama yang terbangun khususnya dengan Ibu Eunike Prapti Lestari Krissetyanti dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), Ibu Rini Widyantini (Kementerian PANRB), Ibu Sri Hadiati Wara Kustriani selaku Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Ibu Maharani Wibowo dari Kementerian PPN/Bappenas, dan rekan peneliti Prospera. Adapun seluruh tulisan yang disajikan dalam hasil riset ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab CWI untuk dapat digunakan sebaik-baiknya dalam upaya kita bersama membangun kesetaraan.
Tim Penulis : Anna Margret, Dirga Ardiansa, Mia Novitasari, Heru Samosir, Roni, Dewi Mulyani Setiawan
Halaman : 58
ISBN : 978-602-53037-3-9
Penerbit : Cakra Wikara Indonesia
Tahun : 2021