Meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Young (1959) sebagai konsep merit yang mengutamakan IQ dan effort untuk mencapai suatu posisi. Pemaknaan mengenai meritokrasi itu sendiri mengalami perkembangan. Berdasarkan pemaknaannya, meritokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang memengaruhi kemajuan dalam masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu daripada basis keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial (Kim & Choi, 2017).
Beberapa studi memaknai meritokrasi sebagai kondisi yang menghadirkan kesempatan yang sama kepada semua individu dalam masyarakat untuk menduduki suatu posisi atau jabatan di publik (Lipsey, 2014; Martin et al, 2014; Au, 2016). Kesempatan yang sama ini dilatari oleh kompetensi yang dimiliki oleh individu sehingga yang nanti menduduki posisi jabatan publik adalah orang-orang yang dianggap terbaik. Penerapan meritokrasi ini tidak terbatas hanya posisi tertentu, tetapi bisa diterapkan dalam konteks seluruh posisi pada suatu pekerjaan atau pelayanan publik.
Pada perkembangannya, terdapat perdebatan terhadap pelaksanaan meritokrasi. Perdebatan ini didasarkan pada output yang dihasilkan dalam menerapkan meritokrasi. Output yang dihasilkan dari penerapan meritokrasi apakah mengurai ketimpangan atau justru memperparah ketimpangan.
Hingga saat ini, penerapan meritokrasi itu berkembang dengan landasan argumen untuk menciptakan masyarakat yang setara. Upaya ini didasarkan pada kesempatan yang sama dalam masyarakat tanpa memperhatikan posisi sosial, kelas ekonomi, jender, atau suku. Dari beragam studi mengenai meritokrasi, terdapat dua hal yang menjadi prasyarat dalam penerapan meritokrasi, yaitu transparansi dan ketidakberpihakan.
Pada dasarnya, Young (1959) sudah memberikan kritik terhadap meritokrasi itu sendiri di mana meritokrasi yang didasarkan pada IQ dan usaha akan memunculkan ketimpangan yang tinggi di masyarakat karena diukur berdasarkan prestasi seseorang. Dalam hal ini, tulisan ini melihat konteks meritokrasi yang disampaikan oleh Young (1959) dan gambaran penerapannya di Indonesia. Meritokrasi dalam pandangan Young (1959) dianggap sebagai masyarakat dengan kondisi di mana elite baru akan bersosialisasi hanya pada kelompok yang memiliki latar belakang sosial dan kelas ekonomi yang sama.
Manajemen ASN
Pada konteks Indonesia, pemaknaan meritokrasi secara khusus hadir dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Aturan ini secara eksplisit menekankan sistem merit sebagai landasan dalam proses pengisian posisi ASN.
Meritokrasi dalam aturan ini dimaknai sebagai kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur serta kondisi kecacatan. Artinya, meritokrasi didasarkan pada kesempatan yang sama untuk setiap individu sesuai dengan pemaknaan yang disampaikan pada studi-studi sebelumnya mengenai meritokrasi.
Dalam praktik keseharian, penerapan meritokrasi didasarkan kepada syarat yang penekanannya pada kualifikasi pendidikan dan pengalaman. Kualifikasi pendidikan ini sebagai tahap awal untuk menilai kemampuan seseorang berdasarkan tingkatan pendidikan yang dimiliki. Praktik ini sudah mengakar dalam masyarakat kita saat ini. Disadari atau tidak, kualifikasi pendidikan seseorang menjadi salah satu syarat utama ketika ingin memperoleh pekerjaan atau menduduki suatu jabatan publik.
Permasalahannya, penerapan meritokrasi sering kali abai dengan kondisi perkembangan sosial. Contohnya, untuk memiliki kapabilitas atau kemampuan yang mumpuni, seseorang harus melewati sejumlah tingkatan pendidikan. Kondisi ini menghadirkan permasalahan karena pada dasarnya tidak semua individu dalam masyarakat mampu mengakses pendidikan dengan baik. Menurut data UNESCO (2018), jumlah anak-anak ataupun remaja yang tidak bersekolah di Indonesia mencapai 2,8 juta orang. Salah satu penyebab utamanya adalah permasalahan kemiskinan.
Artinya, masih terdapat kondisi yang memperlihatkan masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan. Kondisi ini bisa dimaknai bahwa hingga saat ini masyarakat masih berada dalam situasi yang tidak setara. Dalam konteks penerapan meritokrasi, kondisi ini akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan baru dimana meritokrasi mengedepankan individu-individu yang memiliki kapabilitas tanpa melihat kondisi yang berbeda di masyarakat sehingga akan terdapat masyarakat tersisih yang disebabkan kondisi yang tidak setara tersebut.
Dalam kondisi masyarakat yang tidak setara, tidak semua individu berada di posisi garis startyang sama. Penerapan meritokrasi dalam kondisi tersebut hanya akan membuat individu semakin tertinggal di belakang. Penanganan yang dilakukan seharusnya difokuskan pada upaya menggapai individu atau kelompok di masyarakat yang memang berada di garis start yang paling belakang hingga semuanya bisa bersama-sama berada pada kondisi yang seimbang.
Kasus di Indonesia, kondisi ini bisa dilihat dalam konteks penerapan meritokrasi dalam birokrasi kementerian. Studi Cakra Wikara Indonesia (2021) mengenai birokrasi menunjukkan terdapat sejumlah hambatan yang dialami perempuan ketika ingin masuk ke jabatan pimpinan tinggi kementerian. Kondisi ini menunjukkan bahwa penerapan meritokrasi hingga ke jenjang jabatan pimpinan tinggi menyisakan sejumlah persoalan di mana meritokrasi itu sendiri tidak mengenali permasalahan yang dialami PNS perempuan ketika ingin masuk ke jabatan pimpinan tinggi (JPT).
Kondisi tidak sama yang dihadapi PNS perempuan dan PNS laki-laki menyebabkan perempuan cenderung tertinggal dan sedikit keterwakilannya pada jabatan pimpinan tinggi. Data kehadiran perempuan pada posisi JPT kementerian yang diisi dengan menerapkan prinsip meritokrasi sangat timpang dibandingkan dengan laki-laki di posisi JPT. Data rata-rata kehadiran perempuan di posisi JPT hanya mencapai 19,21 persen (2014-2020) (CWI, 2021).
Selain itu, studi Cakra Wikara Indonesia (2022) yang lainnya mengenai perempuan di dunia pendidikan, khususnya sekolah dasar, juga menunjukkan hal yang sama. Perempuan memiliki sejumlah hambatan dan tantangan ketika ingin mengikuti serangkaian seleksi untuk menduduki jabatan kepala sekolah. Kondisi ini tentu akan menyebabkan perempuan berkompetisi dengan kondisi yang tidak setara yang berkonsekuensi pada kehadiran perempuan pada aspek jabatan kepala sekolah dasar yang minim. Serangkaian seleksi berbasis kompetisi ini sebagai konsekuensi penerapan meritokrasi di Indonesia.
Kedua studi tersebut menunjukkan pola yang sama. Keduanya memiliki sejumlah hambatan dan tantangan yang berakar dari norma sosial yang menempatkan perempuan subordinat atau tidak setara dibandingkan dengan laki-laki.
Penempatan peran perempuan di ranah domestik menyebabkan perempuan menghadapi sejumlah tantangan ketika ingin masuk dan berkarier di ranah publik. Tuntutan ranah domestik selalu melekat pada perempuan yang menyebabkan perempuan tidak seluwes laki-laki dalam meniti karier di ranah publik. Hal ini bisa dimaknai bahwa terdapat kondisi yang tidak seimbang dalam masyarakat sehingga perlu mempertimbangkan penerapan meritokrasi tanpa abai dengan kondisi tersebut.
Meritokrasi yang dilaksanakan dalam konteks masyarakat yang tidak setara justru akan menghasilkan ketimpangan-ketimpangan baru yang didasarkan pada perbedaan kemampuan yang muncul akibat kondisi yang berbeda yang dialami setiap individu atau kelompok di dalam masyarakat.
Pentingnya keberpihakan
Meritokrasi dalam konteks pengutamaan IQ dan effort dikhawatirkan akan memunculkan masyarakat yang disebut Young (1959) sebagai distopia. Dalam konteks yang lebih luas, penerapan meritokrasi perlu mempertimbangkan adanya upaya untuk mengurangi ketimpangan melalui penekanan keberpihakan pada kelompok tertinggal atau kelompok marjinal yang pada dasarnya memiliki kondisi awal yang tidak sama baik secara pendidikan maupun kemampuan ekonomi. Penerapan meritokrasi berdasarkan kompetisi dengan prasyarat transparansi dan ketidakberpihakan di satu sisi diperlukan, tetapi dengan konteks kondisi masyarakat yang setara.
Artikel ini dimuat di kompas.id: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/10/sistem-meritokrasi-dan-penerapannya