Sumber Foto: Cakra Wikara Indonesia

Setelah Demo: Apa Kelanjutannya?

Yolanda Panjaitan
Diunggah pada

Beberapa minggu terakhir ini gelombang aksi demo, unjuk rasa, serta berbagai bentuk pernyataan sikap dan tuntutan rakyat terus berlangsung. Berbagai masalah diangkat dalam aksi-aksi ini, antara lain mahalnya harga bahan pokok, semakin tingginya pajak, pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah massal, dampak buruk dari Program Strategis Nasional (PSN) bagi lingkungan hidup dan masyarakat lokal, serta program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyebabkan keracunan pada anak-anak sekolah. Situasi semakin memburuk karena terhadap aksi demo dan unjuk rasa di akhir Agustus sampai dengan awal September 2025, Pemerintah merespon dengan tindak kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi terhadap massa aksi. Kekerasan dan ancaman hukuman juga menyasar jurnalis, pendamping hukum, aktivis dan influencer yang kritis memperjuangkan perubahan. Serangan digital dilakukan dengan penyebutan antek asing pada organisasi dan media alternatif serta sejumlah akun organisasi yang dibatasi, serta intimidasi di beberapa kampus. Jumlah keseluruhan korban mencapai ribuan orang.

Aksi demo dan unjuk rasa pada akhir Agustus sampai dengan awal September 2025 telah memakan korban jiwa, selain korban penangkapan dan kriminalisasi terhadap massa demo. Sampai saat ini, tiap pekan kita bisa melihat berbagai kelompok masyarakat masih terus melakukan kegiatan aksi unjuk rasa dan pernyataan sikap karena respon Pemerintah dan DPR terhadap berbagai tuntutan aksi tidak menyelesaikan masalah mendasar yang dirasakan masyarakat. Setelah begitu banyak pengorbanan dari pihak rakyat, bagaimana kondisi saat ini? Aksi-aksi demo dan protes yang masih berlanjut tidak lagi sebesar sebelumnya. Respon dari Pemerintah dan DPR pun sifatnya reaktif dan hanya menyentuh permukaan persoalan. Sama sekali belum ada perubahan kebijakan dari Pemerintah maupun DPR yang secara mendasar menjawab permasalahan besarnya untuk jangka panjang.

  • Pemerintah tidak mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan permasalahan mendasar yang dituntut oleh masyarakat.

Program MBG tetap dilanjutkan tanpa kejelasan evaluasi. Pemerintah menyatakan bertanggung jawab atas korban keracunan hanya setelah kritik dan protes masyarakat terhadap program MBG makin membesar. Sementara layanan publik juga terancam karena efisiensi anggaran. Program-program ambisius pemerintahan Prabowo Subianto seperti Makan Bergizi Gratis dan Proyek Strategis Nasional yang membutuhkan anggaran raksasa telah menyebabkan Pemerintah memotong anggaran untuk pemerintah daerah pada 2025. Akibatnya, pemerintah daerah mesti mencari sumber pendapatan baru untuk menutupi kekurangan anggaran dari pemerintah pusat, salah satunya dengan menaikkan pajak. Hal ini telah mengakibatkan aksi protes dari masyarakat, salah satunya seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, karena Pemerintah Kabupaten Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%. Selain itu, PSN yang telah mengorbankan lingkungan hidup dan warga sekitar juga terus dijalankan.

  • DPR tidak menjalankan fungsi perwakilan.

Dalam sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia, checks and balances antar lembaga pemerintah merupakan mekanisme utama berjalannya tata kelola yang demokratis agar masing-masing lembaga tidak bekerja melebihi kewenangannya dan kinerjanya diawasi. Dalam sistem ini, DPR berfungsi mengawasi Pemerintah (presiden dan kabinet) dalam menjalankan program-program pembangunan. Tuntutan rakyat dalam berbagai aksi demo dan unjuk rasa seharusnya disuarakan oleh para anggota DPR sebagai wakil rakyat dalam bentuk pengawasan pada Pemerintah. Namun kenyataannya, bagaimana mungkin kader-kader partai di DPR bisa mengawasi Pemerintah jika ketua partai mereka menduduki kursi menteri. Apalagi hampir tidak ada partai politik yang secara jelas mengambil posisi oposisi, supaya para kadernya yang duduk di DPR dapat secara tegas mengevaluasi dan menegur Pemerintah saat terdapat kesalahan dalam program pembangunan.

  • Rakyat terjepit di antara kesulitan hidup sehari-hari dan represi dari Pemerintah.

Kegagalan DPR mewakili suara rakyat, telah memaksa rakyat untuk turun langsung menuntut pemenuhan kepentingannya. Tidak semua warga masyarakat dapat terlibat dalam berbagai aksi demo, unjuk rasa, dan pernyataan sikap. Bagian terbesar energi dan waktu yang dimiliki rakyat sudah habis karena kegiatan memenuhi kebutuhan harian di tengah mahalnya harga bahan pokok, kesulitan mencari pekerjaan, ancaman PHK dan lain-lain. Apalagi ada ancaman kriminalisasi terhadap kritik; kapasitas rakyat untuk melakukan aksi politis ditekan oleh Pemerintah. Dalam konteks ini, masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi dan individu independen yang secara sukarela berupaya mendorong partisipasi masyarakat dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah demi kemaslahatan, menemui tantangannya sendiri dan membutuhkan dukungan serta jejaring lebih luas dalam perjuangannya.

Lalu bagaimana kelanjutannya?

Masalah-masalah di atas tidak terlepas dari kepentingan elit oligarki dalam politik Indonesia yang berkelindan eksekutif dan legislatif. Dalam konteks ini pemerintah nampaknya tidak akan secara serius menjawab tuntutan rakyat dalam berbagai aksi demo dan unjuk rasa. Respon DPR sendiri sangat minim, sekadar menonaktifkan beberapa anggotanya yang dianggap “tidak sensitif” sehingga memicu aksi demo rakyat, serta melakukan penurunan gaji dan tunjangan anggota DPR. Ini adalah respon sangat permukaan dibandingkan kegagalan DPR menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat.

Sangat sulit mengharapkan perubahan dari Pemerintah dan DPR tanpa tekanan dari aksi tuntutan rakyat secara masif. Di sinilah masyarakat sipil dapat berperan penting. Mau tidak mau masyarakat sipil harus menemukan strategi menguatkan substansi mengawasi langkah-langkah partai politik yang mengisi kursi eksekutif (presiden dan kabinet) serta legislatif (DPR dan DPRD). Selain itu juga diperlukan strategi merawat energi dan memperluas serta menguatkan barisan untuk bisa berkelanjutan mengawasi dan mengkritik Pemerintah dan DPR. Tanpa ini, aksi demo akhir Agustus-awal September 2025 lalu bisa berlalu begitu saja sebagai catatan sejarah semata. Kita hanya akan menemui situasi seperti sekarang tanpa ada perubahan berarti bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik.