Tahun ini, Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-77. Konsep bangsa (nation) “Indonesia” sebenarnya sudah lebih jauh digunakan dalam ranah pergerakan politik. Setidaknya ketika Indonesische Vereeniging membuat Manifesto Politik (Kartodirdjo, 2001: 120-122). Sebelumnya nama Indonesische Vereeniging adalah Indische Vereeniging yang dibuat sejak 1908 hingga berubah pada 1923.
Berbicara tentang bangsa, kita dapat meminjam garis besar definisi Benedict Anderson mengenai bangsa (nation) sebagai “komunitas politik yang dibayangkan secara inheren bahkan oleh anggota yang terkecil sekalipun…” (1983: 15). Dalam hal ini, perempuan sebagai bagian dari komunitas politik negara bangsa yang pada saat itu –pasca munculnya Indonesische Vereeniging– mulai dikenal sebagai “Indonesia” sesungguhnya juga memiliki bayangan mengenai bagaimana negara bangsa ini di kemudian hari. Tulisan ini berusaha memaparkan bayangan perempuan Indonesia yang hidup di masa kolonial terhadap bangsa dan negara Indonesia yang suatu saat dicita-citakan merdeka. Penulis akan membatasi bayangan tersebut di tiga ranah yaitu pendidikan, politik, dan privat.
Perempuan dan Ranah Politik
Pada masa kolonial Hindia Belanda posisi bangsa Indonesia (indische atau pribumi) berada di tempat terbawah. Hal tersebut tercermin dalam representasi mereka di bidang politik. Dalam Volksraad (Dewan Rakyat -RED) yang berfungsi sebagai parlemen atau lembaga semi legislatif di Hindia Belanda, Rohmadi & Warto (2019) menjelaskan, di awal pembentukannya pada 1918 Volksraad terdiri dari 1 anggota yang menjadi Voorzitter atau pimpinan yang diangkat oleh Ratu; 15 anggota pribumi (10 anggota dipilih dan 5 diangkat); 23 Eropa dan Timur Asing (9 anggota dipilih dan 14 diangkat). Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa mayoritas di Hindia Belanda hanya diwakili oleh sejumlah kecil orang, itupun hanya orang-orang yang berasal dari kalangan priyayi. Sebaliknya orang-orang Eropa, yang hanya berjumlah 0,4 persen dari populasi sekitar 60 juta di Hindia Belanda, menjadi mayoritas di Volksraad (Blackburn, 1999; Rohmadi & Warto, 2019).
Tantangan dan diskriminasi yang lebih buruk secara khusus dialami oleh perempuan pribumi. Sejak tahun 1917 perempuan di Belanda sebenarnya telah diberikan hak pilih pasif atau dapat mencalonkan dan dipilih dalam pemilu, disusul pada tahun 1919 perempuan diberikan hak pilih aktif untuk memilih. Sayangnya kebijakan yang sama tidak terjadi di Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan perempuan pribumi mempertanyakan mengapa mereka tidak boleh mengikuti status politik yang sama sebagaimana perempuan di negeri Belanda. Padahal mereka sudah menyadari bahwa hak memilih hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu menghapuskan ketidakadilan terhadap perempuan dalam hukum negara kolonial (“Nederlandsch-Indie: Rechtspositie…”, 1929).
Sebuah organisasi yang mengadvokasi hak pilih bagi perempuan di Hindia Belanda, Vereeniging van Vrouwenkiesrecht (VVV), pada 24 Maret 1929 mempermasalahkan kebijakan pemerintah kolonial. Kebijakan yang mendiskriminasi perempuan secara politik maupun hukum. Mereka membuat petisi yang mengharapkan dibuatnya wetsvoorstel (RUU) yang memperkenankan perempuan sebagai getuige (saksi) dalam pembuatan akta maupun surat pencatatan sipil (“Nedrelandsch-Indie: Rechtspositie…”, 1929: 5).
Tahun berikutnya, VVV bahkan mulai mengadvokasi penunjukan perempuan sebagai anggota Volksraad oleh pemerintah dengan menyebutnya sebagai sesuatu yang sangat diperlukan (“Archipel: Een Vrouw…”, 1930). Hal serupa sebenarnya sudah disampaikan oleh Tien Sastrowirjo dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-1 pada 22-25 Desember 1928. Dia menyatakan perlunya KPI mendorong kepada pemerintah Hindia Belanda menjadikan perempuan sebagai anggota dari parlemen lokal hingga Volksraad (Blackburn, 2007: 84).
Cita-cita tersebut terus diperjuangkan dan menjadi salah satu prioritas pembahasan KPI di masa-masa selanjutnya. Maria Ullfah Santoso yang merupakan salah satu tokoh perempuan pejuang kemerdekaan Indonesia, turut aktif dalam memperjuangkan hak pilih pasif maupun aktif bagi perempuan Indonesia dalam pemilu. Meskipun dalam pemilihan Volksraad hal tersebut belum bisa tercapai, pada akhirnya perempuan Indonesia mendapatkan hak pilih aktif dalam pemilihan anggota parlemen tingkat kota (Dewan Kota atau Gemeenteraad) pada 1941 (Hestirani, 2020).
Perempuan dan Pendidikan
Ketidakadilan yang dimaksud dalam perjuangan politik di KPI ke-1 meliputi ranah pendidikan dan privat dalam kehidupan perempuan. Di ranah pendidikan, tentu kita mengetahui pada masa kolonial banyak perempuan, termasuk yang berasal dari kalangan priyayi sekalipun, tidak memiliki akses ke pendidikan. Sehingga memunculkan tokoh-tokoh pemberdaya perempuan terutama di bidang pendidikan seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, Roehana Koedoes, dan Maria Walanda Maramis.
Salah seorang perwakilan organisasi Poetri Indonesia, Sitti Soendari, dalam kesempatan yang sama memberikan pandangannya terhadap perempuan Indonesia yang dinilainya perlu mendapat kemerdekaan seluas-luasnya. Soendari juga menyampaikan pandangan bahwa perempuan perlu terlepas dari ketergantungan kepada orang lain. Secara tegas Sitti Soendari mengatakan “kaum putri sekarang meminta pendidikan yang menuju kemerdekaan, dan kebebasan dalam pergaulan hidup. Pendidikan kita haruslah memperhatikan hal ini, supaya kita jangan menjadi umpan perkawinan saja” (Blackburn, 2007: 68).
Di kesempatan yang sama, Siti Marjam sebagai perwakilan dari Jong Java, bahkan mempermasalahkan fenomena anak-anak usia sekolah yang malah menjadi pekerja. Secara lebih progresif, Siti Marjam juga menyarankan adanya undang-undang wajib belajar bagi anak-anak (leerplichtwet). Sehingga orang tua maupun pemilik usaha yang tidak memberi izin anaknya bersekolah dapat dihukum (Blackburn, 2007: 108-113).
Dalam kongres tersebut R.A. Soedirman yang mewakili Poetri Boedi Sedjati, juga menguraikan bahwa perempuan perlu bergerak untuk memperbaiki nasib dan merebut hak-hak mereka. Dengan begitu mereka bersama laki-laki dapat menaikkan derajat bangsa dan tanah air mereka (Blackburn, 2007: 32-37). Kata perbaikan nasib dan merebut hak tersebut tidak terlepas dari kondisi peraturan perkawinan dan perceraian pada saat itu, yang Soedirman nilai diskriminatif.
Perempuan dan Ranah Privat
Di ranah privat, perempuan Indonesia di era kolonial memang mengalami diskriminasi ganda. Identitas mereka sebagai perempuan pribumi, membuat mereka termarjinalkan. Perempuan pribumi pada saat itu seringkali diasosiasikan sebagai gundik (nyai) bagi orang Eropa atau Timur Asing. Seiring dengan perkembangan pendidikan barat, gerakan nasional seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menunjukan keinginan mereka terhadap isu kemandirian perempuan. Perempuan pribumi diharapkan dapat memenuhi tugas mereka sebagai ibu dan ibu rumah tangga menurut norma Barat, tidak lagi bertindak sebagai gundik. Sarekat Islam bahkan memprotes praktik yang masih dijalankan banyak kalangan priyayi tersebut (Koning, et al., 2013: 42).
Secara lebih lanjut, sebenarnya KPI ke-1 berhasil menghasilkan mosi yang ditujukan kepada Volksraad berkaitan masalah dalam ranah privat, diantaranya: (1) Memberikan surat keterangan taklik bagi mempelai perempuan dan laki-laki dalam melangsungkan pernikahan; (2) Memberikan bantuan finansial kepada janda dan anak yatim-piatu. KPI juga mengimbau anggotanya untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya perkawinan anak (Blackburn, 2017: 21-23).
Pada pertemuan Departemen Perempuan dalam Kongres Indonesia Muda di tahun 1934, seorang perempuan peserta kongres bernama Singgih, memberikan pidato berjudul “Kuadjiban momong dari kaoem poetri”. Sebagaimana dilansir dalam Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie edisi 31 Desember 1934, inti pidato tersebut menyatakan bahwa pria tidak boleh egois dan harus mengizinkan istri mereka menghadiri pertemuan semacam ini. Singgih berkata: “Perempuan tidak ingin berada di belakang laki-laki, ia harus setara dengan laki-laki. Namun, pada saat yang sama, perempuan harus tahu bagaimana menjalankan kewajibannya…”
Seorang peserta lainnya bernama Sriesoenarni, dalam pidatonya menyatakan bahwa untuk memajukan negara dan rakyat yang bekerja tidak hanya laki-laki, tetapi perempuan juga harus bekerja sama. Perempuan harus menunjukkannya dengan cinta untuk sesama manusia. Sedangkan peserta bernama Suhariyah mengatakan bahwa para wanita harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat dan tanah air (“Het Indonesia Moeda Congres”, 1934: 2).
Bayangan yang Terwujud (?)
Bayangan perempuan Indonesia di masa kolonial terus beriringan dengan aktivitas perempuan di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, negara Indonesia secara formalitas mewujudkan bayangan-bayangan yang perempuan miliki. Sayangnya apabila dilihat secara substantif dalam konteks saat ini, kebijakan yang dimiliki Indonesia tidak cukup mengakomodasi bayangan-bayangan perempuan Indonesia di masa kolonial.
Meskipun di ranah politik perempuan Indonesia langsung memiliki hak pilih aktif dan pasif semenjak Pemilu 1955, namun masih terjadi ketimpangan keterwakilan perempuan di parlemen nasional/DPR RI. Tercatat hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 menunjukkan persentase tertinggi keterwakilan perempuan adalah 20,52%. Capain ini masih di bawah angka minimal critical mass sebesar 30%. Menurut Cakra Wikara Indonesia hal ini disebabkan karena pemenuhan kebijakan kuota pencalonan perempuan oleh partai politik lebih didasarkan pada upaya memenuhi syarat administratif semata tanpa memahami esensi kebijakan afirmasi yang diatur dalam undang-undang (Margret et. al., 2022: 97). Ketimpangan keterwakilan perempuan di DPR RI berkonsekuensi terhadap output kebijakan yang berkaitan dengan ranah pendidikan maupun privat.
Dalam ranah pendidikan, cita-cita wajib belajar memang telah tercapai melalui UU No. 20/2003 yang mengatur wajib belajar hingga jenjang SMP. Melalui Permendikbud No. 19/2016, cita-cita tersebut berusaha ditingkatkan menjadi 12 tahun.
Sayangnya data rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas, justru menunjukkan bahwa perempuan memiliki angka yang lebih rendah yaitu 8,60 tahun dibandingkan dengan laki-laki sebesar 9,19 tahun (Kemen PPPA, 2021: 40). Artinya banyak perempuan mengalami putus pendidikan sebelum menyelesaikan tingkat SMP, dibandingkan laki-laki yang berhasil menyelesaikannya bahkan masuk ke tingkat SMA. Hal ini tidak terlepas dari adanya norma sosial yang menempatkan perempuan subordinat atau tidak setara dibandingkan dengan laki-laki (Samosir, 2022).
Untuk ranah privat, proses legislasi terhadap undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan perempuan juga sangat dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah anggota legislatif perempuan. Hal tersebut dibuktikan dengan proses legislasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12/2022 yang memakan waktu selama 10 tahun. Padahal undang-undang tersebut memiliki substansi yang sangat penting bagi perlindungan korban kekerasan seksual yang mayoritas adalah perempuan.
Kenyataan yang dipaparkan tadi membuktikan bahwa seluruh masyarakat Indonesia,masih harus terus berjuang hingga saat ini. Berjuang untuk mencapai apa yang dibayangkan perempuan Indonesia di masa kolonial tentang negara Indonesia merdeka yang menjamin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan.
Referensi
______. (1929). ‘Nederlandsch-Indië: Rechtspositie der vrouwen’. De Sumatra post. Medan, 04 April, p. 5.
______. (1930). ‘Archipel: Een Vrouw in den Volksraad?’. De Sumatra post. 07 Juli, p. 5.
______. (1934). ‘Het Indonesia Moeda Congres’. Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië. 31 Desember, p. 2.
Anderson, B. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso.
Blackburn, S. (1999). Winning the Vote for Women in Indonesia. Australian Feminist Studies, 14(29), pp. 207-218. doi: https://doi.org/10.1080/08164649993443.
Margret, A., Novitasari, M., Samosir, H., Kusuma, T. H., & Rahmadiyansyah, Y. (2022). Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah (Edisi Revisi). Cakra Wikara Indonesia.
Hestirani, L. (2020). Pemikiran Maria Ullfah Santoso tentang hak pilih perempuan Indonesia (1938-1941). Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya, 3(2), pp. 123-146. doi: https://doi.org/10.33652/handep.v3i2.104.
Kartodirdjo, S. (2001). Indonesian Historiography. Penerbit Kanisius.
Koning, J., Nolten, M., Rodenburg, J. & Saptari, R., (2013). Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. Routledge.
Kementerian PPPA. (2021). Profil Perempuan Indonesia tahun 2021. Kementerian PPPA.
Rohmadi, N., & Warto. (2019). Volksraad (People Council): Radicale Concentratie Political Arena and National Fraction, 1918-1942. Humaniora, 31(2), pp. 166-176. doi: https://doi.org/10.22146/jh.30505.
Samosir, H., (2022). Sistem Meritrokrasi dan Penerapannya. Tersedia di: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/10/sistem-meritokrasi-dan-penerapannya.
Artikel ini dimuat di jalastoria.id : https://www.jalastoria.id/perempuan-di-masa-kolonial-membayangkan-indonesia/