Sejak 20 tahun berlakunya aturan afirmasi, data deret waktu dari empat siklus pemilu (2009, 2014, 2019, dan 2024) menunjukkan semakin menguatnya dukungan pemilih di Indonesia kepada politisi perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif. Hasil pemilu 2024 lalu, keterwakilan perempuan di DPR RI menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mencapai angka 21.9%.
Meski mengalami berbagai hambatan mencakup: hambatan regulasi, hambatan institusional partai, dan hambatan sistemik, namun politisi perempuan berhasil menunjukkan capaian peningkatan keterwakilan perempuan secara konsisten. Benarkah telah terjadi perubahan perilaku memilih sejak diterapkannya aturan afirmasi di Indonesia?. Artikel ini mencoba untuk mengurai dan menganalisis berbagai bentuk hambatan dan dukungan berdasarkan data deret waktu hasil pemilu.
Tim peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI) melakukan pengolahan dan analisis data hasil pemilu 2009, 2014, 2019, dan 2024 bersumber dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI). CWI melakukan analisis data terpilah terhadap tiga jenis data. Pertama, data pencalonan perempuan berdasarkan daftar calon tetap anggota legislatif. Kedua, data perolehan suara yang didapatkan oleh setiap calon legislatif perempuan. Ketiga, data keterpilihan yaitu data jumlah perempuan yang berhasil terpilih menjadi anggota legislatif DPR RI.
Mona Lena Krook (2009) mengklasifikasi kuota gender menjadi tiga. Pertama, party quota, afirmasi kuota pencalonan perempuan ada dalam aturan partai politik masing-masing. Kedua, legislative quota, aturan afirmasi pencalonan perempuan dalam persentase tertentu yang dimandatkan kepada seluruh partai politik dalam regulasi yang mengikat. Ketiga, reserved seats, aturan afirmasi yang memberikan jaminan perolehan kursi bagi perempuan dalam jumlah atau persentase tertentu di parlemen.
Indonesia menerapkan legislative quota pertama kali melalui UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 yang menginstruksikan partai politik untuk mencalonkan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam daftar calon legislatif. Aturan afirmasi terus diperkuat melalui Undang-Undang (UU) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum ada pemilu-pemilu berikutnya.
Angka Pencalonan Perempuan : Hambatan Regulasi dan Rendahnya Komitmen Partai
Data pencalonan perempuan menunjukkan peningkatan yang signifikan dari pemilu tahun 2009 hingga tahun 2019, naik 7% (dari 33% menjadi 40%), hal ini bisa terjadi karena di tahun 2014 dan 2019 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berhasil memaksa partai politik untuk memenuhi ketentuan pencalonan minimum 30% perempuan. Partai politik akan mendapatkan konsekuensi jika tidak berhasil memenuhinya, yaitu tidak bisa berkompetisi pada daerah pemilihan (dapil) yang tidak memuat pencalonan minimum 30% perempuan.

Akan tetapi pada pemilu 2024, KPU mengeluarkan peraturan yang tidak berpihak pada kesetaraan dan mengabaikan prinsip afirmasi pencalonan perempuan yang telah diatur oleh UU Pemilu. KPU mengeluarkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur pembulatan angka desimal dalam perhitungan pencalonan calon legislatif perempuan. Aturan ini membolehkan partai politik tetap bisa berkompetisi di suatu daerah pemilihan meski tidak memenuhi minimum pencalonan 30% perempuan. Sebagai salah satu contoh, dapil Sulawesi Selatan 1, PDIP mencalonkan 2 perempuan dari 8 caleg (25%); Gelora mencalonkan 2 perempuan dari 8 caleg (25%); dan PAN mencalonkan 2 perempuan dari 8 caleg (25%). Partai tetap dapat berkompetisi di daerah pemilihan karena berlaku prinsip pembulatan ke atas. Pencalonan perempuan pada pemilu 2024 menemui setidaknya dua hambatan. Pertama, hambatan regulasi melalui PKPU, Kedua, masih rendahnya komitmen internal partai untuk memenuhi pencalonan perempuan minimum 30% jika tidak ada sanksi yang berlaku. Hal ini menyebabkan angka pencalonan perempuan pada pemilu 2024 mengalami penurunan. Menariknya, meski pencalonan perempuan menurun, pada pemilu 2024 dukungan warga sebagai pemilih kepada calon legislatif perempuan justru secara konsisten terus meningkat, hal ini ditunjukkan berdasarkan data perolehan suara caleg perempuan pada bagian berikutnya.
Angka Perolehah Suara Perempuan : Dukungan Warga Pemilih yang terus meningkat
Data angka perolehan suara dari seluruh calon legislatif perempuan memperlihatkan pola yang terus meningkat. Data pada tabel di bawah bisa menjadi salah satu indikator acuan untuk menunjukkan dua hal penting. Pertama, dukungan warga sebagai pemilih terhadap kepemimpinan perempuan sebagai anggota legislatif DPR RI. Kedua, kekuatan dan capaian riil calon legislatif perempuan.

Data persentase di atas dihasilkan berdasarkan total suara sah yang diberikan kepada seluruh caleg perempuan dibagi dengan total suara sah yang diberikan untuk caleg (perempuan dan laki-laki). Ini merupakan kekuatan riil elektabilitas calon legislatif perempuan. Banyak akademisi dan praktisi hanya menyoroti representasi perempuan pada hasil perolehan kursi tetapi tidak melihat pada perolehan suara seluruh caleg perempuan. Data ini menunjukkan adanya perubahan perilaku memilih masyarakat di Indonesia, preferensi pemilih kepada caleg perempuan meningkat signifikan secara perlahan. Bahkan pada pemilu 2024 saat angka pencalonan perempuan menurun akibat peraturan PKPU dan lemahnya komitmen partai, pemilih tetap memberikan dukungan yang semakin menguat kepada calon perempuan. Angka ini bahkan berpotensi lebih tinggi jika perempuan banyak ditempatkan pada nomor urut 1. Data menunjukkan perempuan seringkali ditempatkan di nomor urut 3, ini menjadi salah satu faktor yang turut memengaruhi masih rendahnya perolehan suara caleg perempuan.
Angka Perolehan Kursi Perempuan : Hambatan Sistemik Penerapan Ambang Batas Parlemen
Angka perolehan kursi menjadi hasil akhir yang menunjukkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (DPR RI). Data perolehan suara caleg perempuan terus meningkat mencapai 24.5% pada pemilu 2024, data perolehan kursi anggota legislatif perempuan juga menunjukkan tren yang sama mencapai 21.9% pada pemilu 2024 (127 kursi aleg perempuan dari 580 kursi DPR RI). Bisa dilihat pada grafik di bawah ini.

Akan tetapi mencermati data perolehan kursi di atas, terdapat selisih atau defisit antara angka perolehan suara (24.5%) dengan angka perolehan kursi (21.9%), sekitar 2.5% pada pemilu 2024. Hal ini secara konsisten terjadi di setiap pemilu. Selisih atau defisit menunjukkan adanya hambatan sistemik pada keterpilihan perempuan untuk bisa menduduki kursi di DPR RI. Salah satu hambatan sistemik berasal dari penerapan ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold). Penerapan ambang batas parlemen 4% menyebabkan suara caleg perempuan yang berasal dari partai yang tidak memenuhi total perolehan suara nasional sebesar 4% menjadi hangus, dan tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR RI.
Dari data angka pencalonan, angka perolehan suara, dan angka perolehan kursi, dapat dilihat politisi perempuan yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif masih menemui berbagai hambatan. Mulai dari hambatan regulasi, dalam bentuk peraturan PKPU yang memberlakukan pembulatan ke atas bagi syarat pencalonan perempuan minimal 30%. PKPU ini membuka ruang bagi partai politik untuk mengabaikan aturan minimum pencalonan perempuan 30%. Hambatan institusional juga terjadi dari internal partai politik dalam bentuk gagalnya pemenuhan minimum 30% perempuan di seluruh dapil, penempatan nomor urut 3 sebagai nomor urut yang paling sering diberikan kepada caleg perempuan, serta penempatan pada daerah pemilihan yang bukan menjadi wilayah basis partai. Partai menunjukkan tidak memiliki keberpihakan pada afirmasi keterwakilan perempuan, dan berupaya sekadar memenuhi syarat administrasi belaka. Hambatan lainnya datang secara sistemik dalam bentuk diberlakukannya ambang batas parlemen sebesar 4% yang menciptakan defisit yang cukup tajam antara perolehan suara dengan perolehan kursi.
Meski menemui beragam hambatan, ada satu yang perlu dicatat sebagai salah satu faktor yang berkontribusi pada peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI, yaitu dukungan warga pemilih yang terus meningkat. Data perolehan suara yang diraih oleh caleg perempuan dari empat siklus pemilu menunjukkan kepercayaan pemilih kepada caleg perempuan terus tumbuh. Aturan afirmasi yang diterapkan sejak pemilu 2004 menunjukkan dalam kurun waktu dua puluh tahun, secara perlahan tapi pasti perubahan sikap dan perilaku memilih di Indonesia untuk mendukung kesetaraan politik di Indonesia.
