Cakra Wikara Indonesia (CWI) bersama dengan Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (KPPKS) FISIP Universitas Indonesia dengan dukungan dari Program INKLUSI telah melaksanakan diskusi publik di Auditorium Mochtar Riady, Kampus FISIP Universitas Indonesia, pada 4 November 2024, pukul 09.00-12.00 WIB. Acara ini merupakan upaya untuk mempertemukan masyarakat sipil dan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dengan Calon Kepala Daerah untuk mendiskusikan berbagai tantangan, peluang dukungan, dan sinergi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk mendorong implementasi UU TPKS yang efektif.
Acara ini dipandu oleh Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang dari KPPKS FISIP Universitas Indonesia. Para panelis dalam acara ini sebagai berikut:
- Luluk Nur Hamidah, Calon Gubernur Jawa Timur
- Dedi Mulyadi, Calon Gubernur Jawa Barat
- Muda Mahendrawan, Kalimantan Barat
- Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK
- Lusia Palulungan, BaKTI
- Dirga Ardiansa, Cakra Wikara Indonesia.
Kegiatan ini memberikan ruang bagi calon kepala daerah untuk menyampaikan pandangan dan aspirasinya terkait bagaimana upaya dan rencana program mereka terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di daerahnya masing-masing, terutama dalam upaya mendorong implementasi UU TPKS yang efektif. Berikut ini adalah paparan yang mereka sampaikan:
Luluk Nur Hamidah, Calon Gubernur Jawa Timur
Ibu Luluk menyoroti terkait UU TPKS yang harus kita pastikan bahwa UU tersebut dapat bekerja dan diimplementasikan serta hak-hak korban bisa dipenuhi. Pemerintah harus menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab, tugas dan kewenangannya sesuai amanat UU TPKS, yang menjadi fokus dalam diskusi ini adalah pemerintah daerah yang menaungi wilayah provinsi. Komitmen Ibu Luluk di Jawa Timur dalam upaya ini adalah memberikan perlindungan, serta pemberdayaan anak-anak dan kelompok rentan. Hal tersebut menjadi penting karena berdasarkan data pelaporan, hingga tahun lalu Jawa Timur menjadi penyumbang kedua tertinggi kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Kemudian, hingga saat ini Jawa Timur belum memiliki aturan yang secara khusus mendukung implementasi UU TPKS, sehingga masih terdapat kabupaten dan kota yang belum memiliki Unit Pelaksana Teknis pengada layanan kekerasan seksual. Maka upaya yang akan dilakukan oleh Ibu Luluk saat memimpin Jawa Timur, yaitu:
- Membangun ekosistem yang baik, melalui protokol pencegahan kekerasan seksual di lembaga kerja pemerintahan, lembaga publik seperti lembaga pendidikan dan lembaga agama atau pesantren dalam bentuk Peraturan Gubernur.
- Adanya dana abadi Jawa Timur untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, seperti pemberian bantuan bagi korban, dan mereka yang memiliki kerentanan dari adanya tindak kekerasan seksual.
- Perlu kampanye di ruang publik mengenai UU TPKS.
- Memastikan adanya kurikulum pendidikan yang memuat isu reproduksi dan self love.
- Banyak pemerintah kabupaten/kota yang menginginkan predikat daerah ramah anak, dan menganggap bahwa kabupaten/kota yang ramah anak adalah yang tidak memiliki atau rendah kasus kekerasan seksual. Maka seringkali mereka menutup kasus yang ada dan tidak memproses kasus ke jalur hukum formal. Hal ini merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Dedi Mulyadi, Calon Gubernur Jawa Barat
Bapak Dedi menjelaskan bahwa selama ini kelembagaan hanya ada saat suatu peristiwa kekerasan yang sudah terjadi. Namun, diharapkan ada upaya pencegahan agar tidak terjadi. Kekerasan seksual diyakini terjadi secara umum pada anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, sehingga mereka berada di dalam lingkungan yang tidak terproteksi dengan baik. Untuk menangani hal tersebut, Bapak Dedi ingin memastikan bahwa tidak ada keterlantaran dan pembiaran anak-anak, salah satunya anak jalanan.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan penguatan lembaga-lembaga sosial yang menangani isu ini, fungsi-fungsi negara harus ditingkatkan, dan pembiayaan harus ditingkatkan karena biasanya terdapat problem pembiayaan. Kemudian upaya penguatan dilakukan pada lembaga Dinas Sosial dengan membangun asrama pendidikan untuk anak-anak yang terlantar, dan fasilitas yang menguatkan mereka.
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, justru terjadi karena adanya kerawanan pada aspek yang melibatkan ketokohan pada suatu wilayah, apalagi mereka yang dianggap sebagai tokoh sakral. Hal tersebut juga menyebabkan rata-rata orang tua tidak mau melapor, dan isu ini ditutupi. Oleh karena itu, upaya pencegahan oleh negara perlu didasari pemahaman kondisi spesifik wilayahnya, untuk menjadi daya negosiasi ke depannya.
Muda Mahendrawan, Kalimantan Barat
Bapak Muda menyampaikan bahwa setiap tahunnya kasus kekerasan seksual di Kalimantan Barat terus mengalami peningkatan, sehingga peran strategis kepala daerah sangat penting dalam upaya menjadi pihak terdepan mengajak semua stakeholder agar terlibat dalam pencegahan dan penanganan kasus. Terdapat juga beberapa hal lain yang ia tekankan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual::
- Pelaksanaan musrenbang khusus perempuan, anak dan disabilitas, untuk memberikan ruang menyampaikan pandangan bagi kelompok rentan.
- Penguatan sektor pendidikan, bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat dan universitas untuk membuat program afirmasi seperti sekolah perempuan. Melalui program seperti ini, peserta dapat memperoleh perspektif dan kesadaraan terkait isu kekerasan seksual hingga tingkat desa dan kampung-kampung.
- Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kepala daerah dan lembaga harus mau digerakkan terkait isu-isu pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Secara birokrasi kepala daerah memiliki kuasa untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat hingga tingkat desa/kampung.
- Substansi terkait isu ini harus dikedepankan di setiap program, sebagai upaya memberikan kepekaan pada masyarakat. Media sosial dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pemahaman dan kesadaran pada seluruh elemen masyarakat yang kemungkinan sulit dijangkau oleh pemerintah.
- Di pihak pemerintah daerah, selain membuat regulasi terkait UU TPKS, perlu memastikan operasional teknis harus sampai di tingkat desa. Ini harus diikuti regulasi di kabupaten yang memperkuat lembaga-lembaga terkait. UPTD PPA pun akan diarahkan untuk melakukan koordinasi di berbagai kelurahan dan desa, agar jejaring terus terhubung.
Lusia Palulungan, BaKTI
Ibu Lusia menyoroti keterbatasan kemampuan UPTD PPA dalam penanganan kasus, termasuk saat mendampingi korban. Ia menekankan perlunya pemahaman bahwa pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual harus dilakukan lintas sektor. Misalnya jika terdapat korban yang mengalami luka, maka tidak cukup ditangani oleh dinas yang membidangi perlindungan perempuan dan anak saja, melainkan juga sektor kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan dinas kesehatan. Rumah aman juga sangat minim. Masih banyak UPTD PPA di daerah yang tidak memiliki rumah aman, dan biasanya rumah aman hanya terdapat di dinas sosial.
Oleh karena itu perlu koordinasi lintas sektor. Ketika UPTD PPA diberi mandat penanganan kekerasan seksual, namun tidak ada kebijakan yang mengatur keterhubungan lintas sektor maka pihak UPTD PPA akan sulit untuk melakukan koordinasi dengan sektor-sektor lain seperti kesehatan dan sosial. Kebijakan ini menjadi kewenangan bupati atau walikota. Kepala daerah seringkali menganggap bahwa upaya penanganan kekerasan seksual cukup dilakukan oleh dinas pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak serta UPTD PPA saja, padahal di dalam implementasinya hal ini membutuhkan koordinasi lintas sektor yang pembuatan peraturannya adalah kewenangan kepala daerah. Hal ini penting dipahami oleh para pemimpin daerah, agar penanganan kekerasan seksual di daerah tidak mengalami hambatan.
Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK
Ibu Ratna membagikan pengalaman kerja LBH APIK Jawa Barat, yang antara lain menyediakan layanan bantuan hukum. Menurutnya, UPTD PPA membutuhkan medikolegal karena banyaknya bentuk-bentuk kekerasan seksual yang membutuhkan pendampingan. Beliau menyoroti tantangan di kondisi lapangan dan masih bermasalahnya perspektif kepentingan korban pada UPTD PPA dan Aparat Penegak Hukum. Ibu Ratna juga menyoroti layanan psikolog klinis masih sangat kurang sehingga pemulihan korban tidak bisa tertangani maksimal. Perspektif APH dalam pemulihan korban terutama korban anak juga masih minim. Ini sangat menghambat dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Dalam UU TPKS terdapat pengaturan APH, antara lain bahwa jaksa juga seharusnya melakukan penjangkauan terhadap korban. Pemeriksaan terhadap korban tidak harus dilakukan di kepolisian, karena dapat dilakukan di UPTD, di rumah korban atau di lembaga layanan berbasis masyarakat. Sementara itu, kekerasan seksual pada anak dan disabilitas masuk dalam delik biasa. Pelaporan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus korban, dan ini harus langsung diproses secara hukum. Untuk korban dewasa, yang termasuk delik aduan adalah pelecehan seksual nonfisik. Terkait kekerasan seksual berbasis elektronik yang hukumannya 4 tahun, juga termasuk dalam delik aduan. Ini diatur dalam Pasal 14 UU TPKS.
Pengalaman LBH APIK Jawa Barat juga menunjukkan pentingnya kehadiran UPTD PPA dalam bentuk layanan terpadu seperti one stop crisis center, agar penanganan kasus terpadu dan terintegrasi. Ibu Ratna berharap kepala daerah dapat membuat layanan one stop crisis center yang ideal, selain memperkuat kapasitas sumber daya manusia. Layanan ini harus ada di daerah-daerah setidaknya di level provinsi.
Dirga Ardiansa, Cakra Wikara Indonesia
Bapak Dirga memaparkan hasil riset CWI terkait hambatan dalam penanganan kekerasan seksual. Terdapat dua aspek hambatan yaitu institusional dan kultural normatif. Dalam aspek institusional, UU TPKS barulah merupakan satu instrumen, sebagai bentuk intervensi kebijakan agar fenomena kekerasan seksual mulai dibicarakan. Praktik di beberapa negara menunjukkan telah tersedianya undang-undang yang sangat progresif dalam isu kekerasan seksual namun masyarakatnya masih belum siap dalam arti terdapat budaya patriarki yang sangat kuat dan normanya masih sangat bias. Riset Kreft di Kolombia menunjukkan sudah adanya peraturan anti kekerasan seksual namun aparat penegak hukumnya tidak siap, sehingga terjadi reviktimisasi terhadap korban.
Tantangan selanjutnya terkait struktur kultural normatif, dan ini paling sulit diubah. Masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat membuat penanganan kekerasan seksual menghadapi tantangan berat. Dalam mengubah norma diperlukan pendidikan, dan perlu terus adanya pembicaraan mengenai fenomena kekerasan seksual. Ini terkait dengan aspek agama dan aspek adat. Di Probolinggo, salah satu wilayah riset CWI, ada pengakuan bahwa instrumennya sudah siap tapi saat terjadi kasus di pesantren misalnya, sulit bagi kepolisian dan unit pelaksana teknis perlindungan perempuan dan anak untuk melakukan intervensi karena adanya anggapan bahwa pesantren adalah wilayah eksklusif. Dalam ruang lingkup pendidikan, ketika korbannya adalah anak, dalam banyak kasus UPTD PPA maupun pihak sekolah meminta korban untuk mengundurkan diri untuk ‘dipesantrenkan’. Ini menunjukkan bahwa masyarakat belum siap, cenderung mendorong budaya pembungkaman yaitu tidak boleh membicarakan kekerasan seksual karena dianggap sebagai aib dan adanya perasaan malu.
Kita sudah memiliki UU TPKS namun ada kecenderungan kasus tidak dilaporkan. Selain itu, banyak orang belum mengetahui perihal UPTD PPA sehingga pelaporan dan penanganan kasus cenderung mengandalkan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat. Tantangan lain adalah keterbatasan fasilitas UPTD PPA, sehingga misalnya di wilayah dengan tantangan geografis, korban tidak dapat setiap saat mengakses layanan. Keterbatasan tidak hanya berhenti pada fasilitas, melainkan juga pada pendidikan. Ini terkait tantangan sektoral. Dinas pendidikan perlu menyusun kurikulum kesehatan reproduksi,dan isu kesehatan seksual perlu dibicarakan. Demikian juga soal penempatan personil pada UPTD PPA yang berada di bawah koordinasi Dinas PPPA. Pengisian jabatan di UPTD PPA tidak menjadi prioritas sehingga posisi tersebut diisi oleh orang yang kapasitasnya tidak sesuai.
Peran strategis kepala daerah dalam kolaborasi multipihak pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bukan hanya sebatas pada dukungan anggaran dan dukungan personil. Saat ini sudah terbit Perpres UPTD PPA yang menjadi harapan walaupun secara substansi belum ideal. Perspektif APH juga kerap tidak berpihak pada korban dan bahkan cenderung menyalahkan korban karena ketiadaan pendamping hukum pada UPTD PPA. Selain itu, komitmen kepala daerah dalam penanganan kekerasan seksual masih rendah. Oleh karena itu, penting mendorong komitmen kepala daerah untuk memprioritaskan dan memaksimalkan kinerja UPTD PPA, juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang akses layanan untuk memudahkan korban dalam melaporkan kasus. Selain itu juga diperlukan pelatihan bagi APH agar memiliki perspektif yang berpihak pada penanganan dan pemulihan bagi korban.