Diskusi Publik (X-Space)

Diunggah pada

“Mengakhiri Pembungkaman Menegakkan Budaya Bicara Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Berperspektif Korban”

Cakra Wikara Indonesia (CWI) bersama Project Multatuli dengan dukungan dari Program INKLUSI telah melaksanakan diskusi publik di X-Space @CakraWikara pada 19 Juli 2024 pukul 19.00 – 21.00 WIB. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan diseminasi hasil riset CWI tentang implementasi UU TPKS. Panelis dalam acara ini yaitu : 

  1. Evi Mariani, Direktur Eksekutif Project Multatuli; 
  2. Iva Hasanah, Direktur Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K) Jawa Timur; 
  3. Muslimin Hasbullah, Kepala UPTD PPA Kota Makassar; 
  4. Noridha Weningsari, Tenaga Ahli Psikolog Klinis Pusat PPA Jakarta; 
  5. Mia Novitasari, Peneliti Cakra Wikara Indonesia. 

Acara ini dipandu oleh Bergas Fadhil Widyadhana, salah satu peneliti CWI sebagai moderator. 

Diskusi ini bertujuan menyampaikan salah satu temuan hasil riset CWI yaitu berbagai tantangan dan hambatan baik pada pihak Aparat Penegak Hukum (APH) maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di wilayah riset, dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Hasil liputan serial Project Multatuli yaitu #PercumaLaporPolisi dalam artikel “Dua Putri Saya Dicabuli, Saya Lapor ke Polres Baubau, Polisi Malah Tangkap Anak Sulung Saya” dan “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” memperlihatkan hal serupa. Liputan tersebut menunjukkan bahwa APH masih belum sepenuhnya berpihak kepada korban dalam menangani kasus kekerasan seksual. Selanjutnya, diskusi ini juga ingin menampilkan praktik baik penanganan kasus pada UPTD PPA di dua wilayah yaitu Jakarta dan Kota Makassar.

Evi Mariani memaparkan bahwa terbentuknya Project Multatuli berawal dari kerja sama dengan pemimpin redaksi lainnya dalam peliputan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Liputan dalam edisi #PercumaLaporPolisi menunjukkan bahwa APH cenderung belum sepenuhnya berpihak kepada korban kekerasan seksual. Situasi juga semakin sulit karena wilayah terjadinya kasus di kota kecil, korban menghadapi kasus sendirian serta kondisi tidak memadainya infrastruktur pelaporan dan pengaduan kasus. Peliputan media dapat mendorong tindak lanjut nyata pemrosesan kasus, namun surut ketika peliputan menurun. Evi juga menyampaikan bahwa belum semua jurnalis memiliki keberpihakan terhadap korban dalam menuliskan liputan. . 

Iva Hasanah juga memaparkan sejumlah hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Menurut Iva, tantangan besar saat ini adalah perspektif dari aparat penegak hukum yang masih normatif. Keberpihakan polisi terhadap korban masih dianggap minim, termasuk di tingkatan Polsek yang merupakan akses pengaduan masyarakat . Iva juga menjelaskan bahwa pendanaan penanganan kasus lebih banyak dihabiskan untuk proses litigasi sementara itu upaya rehabilitasi terhadap korban belum dapat terpenuhi secara menyeluruh. Selain itu alokasi anggaran masih minim untuk upaya pencegahan dan pendampingan. Menurut Iva, penting untuk melakukan penguatan peningkatan kapasitas untuk aparat penegak hukum. Lebih lanjut, penting ada Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan pengaduan di UPTD PPA karena diperlukan untuk mengakomodasi pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. 

Mia Novitasari selaku peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI) memaparkan mengenai hasil riset CWI di tiga wilayah yaitu Probolinggo, Gresik dan Gianyar. Riset CWI mengidentifikasi hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. APH serta UPTD PPA masih minim keberpihakannya terhadap korban. Hal ini dapat terlihat berdasarkan langkah-langkah yang diambil oleh lembaga ataupun dinas terkait dalam menangani kasus kekerasan seksual. APH masih enggan merujuk ke UU TPKS dalam penanganan kasus di Gresik. UPTD PPA belum terbentuk di Probolinggo. Selain itu, APH serta UPTD PPA di tiga wilayah belum mendapatkan sosialisasi secara menyeluruh mengenai UU TPKS. Terdapat pengaruh nilai adat dalam penanganan kasus di UPTD PPA Gianyar. Dalam upaya mengatasi berbagai hambatan tersebut antara lain diperlukan pelaksanaan pelatihan bagi APH, UPTD PPA, terkait UU TPKS. Selain itu perlu penguatan kapasitas UPTD PPA di daerah serta penguatan peran lembaga layanan berbasis masyarakat. 

Kepala UPTD PPA Kota Makassar, Muslimin Hasbullah, mengkonfirmasi berbagai tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual, dalam tiap tahapannya. Untuk menghadapinya, penguatan kelembagaan dilakukan oleh UPTD PPA Makassar dengan membangun kemitraan dengan berbagai pihak dari lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, kampus dan media. Bentuk kerjasama yang dilakukan misalnya kesepakatan MoU, pertemuan koordinasi rutin, dan pelatihan. Selain itu, Muslimin mengakui masih minimnya perspektif kalangan APH akan penanganan KS yang mengedepankan kepentingan korban. Terdapat juga tantangan SDM yaitu kurangnya tenaga psikolog klinis di UPTD PPA dan tenaga penyidik di kepolisian.Muslimin juga menekankan bahwa dalam upaya mengakhiri pembungkaman dan menegakkan budaya bicara yang mendesak tersedia adalah kemudahan dalam mengakses layanan. Jika di suatu wilayah terdapat lonjakan catatan pengaduan terhadap kasus kekerasan seksual, hal tersebut bukanlah potret buruk suatu wilayah, melainkan menunjukkan sudah terjangkaunya akses pengaduan bagi masyarakat. 

Noridha menguraikan sejumlah tantangan dalam pemenuhan kebutuhan dan hak korban yang ditemui oleh Pusat PPA Jakarta, antara lain belum optimalnya manajemen kasus karena berbagai tantangan seperti minimnya perspektif pada OPD atau lembaga pemerintah lainnya; adanya pengaruh nilai sosial  budaya yang menghambat layanan kespro pada kasus yang menyebabkan kehamilan; belum optimalnya proses koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya, dan lain sebagainya. Tenaga layanan jumlahnya masih terbatas (dibandingkan banyaknya kasus) dan pentingnya mereka mendapatkan perlindungan selama proses penanganan kasus. Lebih lanjut, masih terdapat hambatan penanganan kasus terkait ego sektoral  dan dalam upaya pemenuhan hak-hak korban. Pentingnya keterlibatan aktif jaringan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. Selain itu, sinergi kerjasama antar lembaga juga penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual. 

Melalui diskusi ini kita dapat menyaksikan dari pengalaman awak media, lembaga pendampingan, dan UPTD PPA dari dua kota, bahwa implementasi UU TPKS betul-betul menandakan penegakkan norma “baru” dalam menghadapi kasus kekerasan seksual. Dalam tiap fase, pencegahan, penanganan, pemulihan, hingga restitusi ada saja hambatan yang masih ditemukan di lapangan. 

Jelas bahwa negara terus perlu didesak hadir aktif tapi juga penguatan peran lembaga  layanan berbasis masyarakat bersama UPTD PPA penting untuk terus dirawat. Gerak bersama lintas sektor dan lintas kelompok menjadi kunci karena mengubah norma yang sebelumnya fokus pada penghukuman pelaku yang terutama.

Diskusi masih dapat disimak di https://x.com/cakrawikara/status/1814297328888820131?s=48

#InklusiUntukSemua #risetCWI #TegakkanBudayaBicara #kekerasanseksual