Latar Belakang
Tantangan perbaikan kualitas pendidikan yang dilihat dari hasil belajar erat kaitannya dengan peran pimpinan atau kepala sekolah. Dalam konteks perbaikan kualitas pendidikan, penting untuk ikut memperhatikan kualitas peran pimpinan sekolah. Ini sejalan dengan rujukan regulasi formal yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Ditegaskan pada peraturan tersebut, guru diberikan tugas sebagai kepala sekolah untuk memimpin dan mengelola sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Sementara untuk sekolah agama atau madrasah, tata cara pengangkatan kepala madrasah diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 58 Tahun 2017 tentang Kepala Madrasah.
Survei INOVASI tahun 2018 di wilayah mitra INOVASI menemukan jumlah kepala sekolah perempuan masih minim. Survei tersebut mencatat hanya sekitar 30% kepala sekolah di Sekolah Dasar (SD) adalah guru perempuan dan lebih sedikit lagi di madrasah, yaitu kurang dari 20%. Di lain pihak, temuan yang berasal dari pandangan guru terhadap kinerja kepala sekolah mereka menunjukkan bahwa kepala sekolah perempuan kinerja dan manajemennya lebih baik dibandingkan kepala sekolah laki-laki. Catatan penting dari survei INOVASI tahun 2018 menemukan performa kepala sekolah perempuan relatif lebih baik daripada laki-laki. Ini semakin mempertegas pentingnya keterwakilan guru perempuan sebagai kepala sekolah.
Ketimpangan jumlah guru perempuan sebagai kepala sekolah serta temuan INOVASI (2018) tentang potensi kepala sekolah perempuan menjadi alasan pentingnya memahami situasi di lapangan dalam upaya meningkatkan kehadiran kepala sekolah perempuan. Dalam konteks tersebut, Cakra Wikara Indonesia (CWI) didukung Program INOVASI melakukan riset lanjutan untuk mendapatkan gambaran lebih utuh tentang hambatan yang dialami perempuan untuk menjadi kepala sekolah terutama di jenjang pendidikan dasar.
Tujuan Diskusi Publik
Diskusi publik ini berjudul “Kepemimpinan Perempuan di Sekolah Dasar: Hambatan dan Peluang” yang bertujuan untuk menyampaikan hasil riset CWI yang didukung INOVASI (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia Kemitraan Australia – Indonesia). Melalui diskusi publik ini, diharapkan para narasumber memberikan tanggapan atas hasil temuan dan rekomendasi riset CWI serta upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan multidimensional guru perempuan untuk menjadi kepala sekolah.
Waktu, Tempat, dan Panel
Diskusi publik dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom Meetings pada Senin, 13 Desember 2021 Pukul 10.00-12.30 WIB.
Panelis diskusi publik terdiri dari:
- Cici Tri Wanita (Direktur Program INSPIRASI Foundation)
- Santoso (Direktur Eksekutif Article 33)
- Dirga Ardiansa (Wakil Ketua Cakra Wikara Indonesia)
Moderator: Rasita Ekawati Purba (INOVASI)
Catatan Diskusi
Temuan riset CWI menunjukkan perempuan mengalami hambatan multidimensional yang terdiri dari dimensi regulasi, kultural, dan waktu. Ketiga hambatan ini saling terkait dengan hambatan utama bersumber pada hambatan berdimensi kultural yang tidak kasat mata atau tersembunyi di ruang privat. Pertama, dimensi regulasi di mana peraturan dan implementasi peraturan yang bersifat netral gender menjadi hambatan bagi perempuan. Sejak tahap awal (pengusulan), tidak ada kejelasan wilayah dan waktu penugasan/penempatan. Hal ini menjadi hambatan berdimensi peraturan yang menyulitkan bagi perempuan untuk memutuskan mendaftar menjadi kepala sekolah/madrasah. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (sertifikasi) juga menjadi hambatan bagi perempuan karena dua hal, yaitu: 1) tahapan dan durasi yang panjang menyulitkan bagi perempuan yang kerap mengalami beban ganda; dan 2) lokasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang jauh dari domisili menyulitkan bagi perempuan karena keterbatasan mengambil keputusan secara otonom terkait tanggung jawab di ruang privat.
Kedua, hambatan kultural di mana norma gender yang membagi peran sosial laki-laki dan perempuan secara berbeda merupakan akar penyebab sulitnya perempuan menjadi kepala sekolah/madrasah. Peran reproduktif dan tanggung jawab domestik seringkali dibebankan secara eksklusif pada perempuan. Akibatnya, perempuan sulit mengambil keputusan secara otonom dalam perencanaan dan pengembangan karirnya dari guru menjadi kepala sekolah/madrasah.
Ketiga, dimensi waktu di mana peran reproduktif yang meliputi melahirkan, mengasuh dan membesarkan anak, serta tanggung jawab domestik lainnya seperti memasak, merawat rumah, dan merawat keluarga yang sakit atau lanjut usia secara eksklusif sering diberikan kepada perempuan. Hal ini berkonsekuensi pada alokasi dan distribusi waktu yang berbeda secara signifikan antara perempuan dan laki-laki. Ketika dihadapkan dengan situasi memiliki anak yang masih kecil, guru perempuan menunda untuk mengikuti pemilihan kepala SDN dan MI. Ketidakpastian waktu penugasan juga menjadi lebih problematik pada perempuan karena berbeda dari guru laki-laki, guru perempuan tidak dapat sewaktu-waktu diusulkan untuk menjadi calon kepala sekolah karena peran reproduktifnya yang menuntut alokasi waktu khusus
Riset CWI ini juga menghasilkan temuan khusus di Sumba Barat. Persentase perempuan kepala sekolah/madrasah di Sumba Barat tertinggi di antara tiga kabupaten lainnya, yakni 59% di SDN. Ini merupakan capaian kuantitatif tetapi problematik karena semua kepala SDN perempuan di Sumba Barat yang diwawancarai tidak ada yang menjalani proses pendidikan dan pelatihan untuk mendapat sertifikat calon kepala sekolah. Proses pemilihan kepala SDN yang tidak melalui tahapan pendidikan dan pelatihan berpotensi menimbulkan masalah baru. Kepala sekolah perempuan di Sumba Barat kehilangan peluang peningkatan kapasitas yang dapat diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan. Hak atas tunjangan kepala sekolah pun akan sulit diakses karena kepala sekolah yang tidak menamatkan pendidikan dan pelatihan dianggap tidak memiliki kualifikasi formal.
Dalam diskusi ini, Ibu Cici Tri Wanita juga membagikan pengalaman riset INSPIRASI Foundation di mana lima dari enam kecamatan mitra INSPIRASI temuan datanya serupa dengan data dari laporan penelitian CWI, yaitu lebih banyak jumlah guru perempuan dibandingkan dengan jumlah guru laki-laki. Namun, dari tujuh wilayah riset INSPIRASI Foundation, hanya tiga wilayah yang rasio kepala sekolah perempuannya lebih tinggi. Apabila dalam riset CWI hambatan yang ditemukan terdiri dari hambatan produktif, dan reproduktif, INSPIRASI Foundation menemukan bahwa guru perempuan juga harus menemani suaminya yang sudah pensiun di rumah. Temuan ini semakin memperkuat hasil riset CWI mengenai kepemimpinan perempuan di tingkat sekolah dasar.
Sementara itu, Bapak Santoso dalam paparannya menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan, di sektor apapun, adalah kunci dari kesetaraan gender, termasuk kepemimpinan perempuan di sekolah. Dalam hal ini, upaya yang bisa dilakukan untuk mendorong dan memperluas kesempatan bagi perempuan untuk menempati posisi kepemimpinan di sekolah adalah advokasi di tingkat pemerintah pusat karena pemerintah pusat memiliki peran strategis dalam memegaruhi pemerintah daerah melalui peraturan dan program-program pendidikan.
Berdasarkan temuan riset CWI, dalam diskusi publik ini CWI juga menyampaikan beberapa rekomendasi bagi setiap pemangku kebijakan untuk mengatasi hambatan multidimensional bagi guru perempuan menjadi kepala sekolah/madrasah, antara lain:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama:
- Menetapkan mekanisme insentif bagi kepala sekolah/madrasah berprestasi dan berkinerja baik. Permendikbud No. 6 tahun 2018 dan PMA No. 58 tahun 2017 tidak mengatur insentif bagi kepala sekolah/madrasah yang berprestasi dan berkinerja baik. Saat ini masih terjadi praktik kepala sekolah/madrasah berprestasi dan berkinerja baik ditempatkan di sekolah berakreditasi lebih rendah pada periode selanjutnya, biasanya di wilayah yang lebih sulit. Hal ini menjadi disinsentif bagi calon kepala sekolah perempuan. (Kemendikbud & Kemenag)
- Mengeluarkan peraturan yang menjadikan penilaian hasil pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah sebagai dasar utama pengangkatan kepala sekolah/madrasah. (Kemendikbud & Kemenag)
- Memastikan data terpilah jumlah guru dan jumlah kepala sekolah secara rutin diperbarui, akurat menggambarkan informasi sekolah, dapat ditelusuri di setiap kabupaten, dan data terpilah ini selalu digunakan untuk perencanaan dan penganggaran proses rekrutmen kepala sekolah/madrasah. (Kemendikbud & Kemenag)
- Mendorong perumusan peraturan Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang responsif terhadap hambatan tidak kasat mata yang dihadapi guru perempuan; yakni fleksibilitas metode pelatihan (sinkronus dan asinkronus) serta indikator capaian berbasis output kerja. (Kemendikbud)
- Mendorong agar peningkatan proporsi jumlah kepala sekolah perempuan dan laki-laki dijadikan salah satu indikator capaian implementasi program Pendidikan Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. (Kemendikbud)
Kementerian Keuangan:
- Memberikan insentif bagi pemerintah daerah kabupaten agar memprioritaskan alokasi anggaran pendidikan dasar bagi proses pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sertifikasi calon kepala sekolah melalui kebijakan Dana Insentif Daerah (DID).
Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS):
- Memastikan penyesuaian kurikulum pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah agar responsif terhadap rangkaian hambatan tidak kasat mata yang dihadapi guru perempuan. Penyesuaian meliputi durasi pelatihan yang lebih singkat; tempat pelaksanaan pelatihan dengan sistem zonasi/wilayah yang dekat dengan domisili; mekanisme pelaksanaan secara daring dijadikan prioritas dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan akses dan jaringan internet.
- Mendorong publikasi nilai hasil pendidikan dan pelatihan sebelum dikirimkan sebagai laporan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten sebagai upaya memastikan transparansi dasar pengangkatan calon kepala sekolah.
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Dinas Pendidikan Kabupaten:
- Mengenali tantangan mobilitas pada sebagian besar guru perempuan dan membuka peluang untuk penempatan calon kepala SDN perempuan dengan sistem zonasi (memprioritaskan wilayah yang dekat dengan domisili dan relatif aman).
- Mendorong dikeluarkannya peraturan untuk calon kepala sekolah perempuan yang sedang hamil dan/atau memiliki anak balita dapat menegosiasi wilayah penugasan agar menggunakan sistem zonasi berdekatan dengan domisili. Kemudahan akses ke sekolah diprioritaskan untuk calon kepala sekolah perempuan hamil dan/atau memiliki anak balita.
- Memastikan perencanaan dan penganggaran proses pemilihan kepala sekolah dilakukan dengan rujukan data terpilah gender dalam rangka memperbaiki kesenjangan jumlah kepala sekolah perempuan dan laki-laki.
- Ketersediaan data proyeksi kebutuhan kepala SDN yang terupdate secara berkala digunakan sebagai basis penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta proyeksi penugasan.
Kantor Wilayah Provinsi Kementerian Agama:
- Mengenali tantangan mobilitas pada sebagian besar guru perempuan dan membuka peluang untuk penempatan calon kepala madrasah perempuan dengan sistem zonasi (memprioritaskan wilayah yang dekat dengan domisili dan relatif aman).
- Mendorong dikeluarkannya peraturan untuk calon kepala madrasah perempuan yang sedang hamil dan/atau memiliki anak balita dapat menegosiasi wilayah penugasan agar menggunakan sistem zonasi berdekatan dengan domisili. Kemudahan akses ke sekolah diprioritaskan untuk calon kepala madrasah perempuan hamil dan/atau memiliki anak balita.
- Mendorong pelibatan yang lebih substantif berbagai unsur terkait di kabupaten dalam proses pemilihan/rekrutmen kepala MIN; tidak hanya sebatas meminta pengusulan nama.
- Memastikan agar durasi serta lokasi pendidikan dan pelatihan ditetapkan dan diimplementasikan secara konsisten.
- Khusus untuk MIS, yayasan sebagai pemegang otoritas pemilihan kepala MIS perlu melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Kantor Kemenag Provinsi untuk memastikan terdapat rujukan untuk mencegah pemilihan yang bias gender.
Selengkapnya: https://www.youtube.com/watch?v=apWqNkxv_z0