Diskusi Publik “Membincangkan Urgensi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah, dan Islam”

Diunggah pada

Latar Belakang
Dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 yang ditandatangani oleh pemerintah dan DPR RI per Januari 2020, terdapat Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU KK). Dalam perkembangannya, RUU tersebut segera menuai kritik dari sejumlah anggota fraksi, juga dari masyarakat sipil. Kritik terhadap RUU KK meliputi beragam aspek meliputi dasar pertimbangannya dan muatannya secara keseluruhan yang dinilai mengabaikan realita keberagaman bentuk keluarga di Indonesia.

Naskah awal RUU KK yang beredar pada bulan Februari 2020 terdiri dari susunan bagian Konsideran, 15 (lima belas) jumlah Bab dan 146 jumlah Pasal, serta lampiran Penjelasan. Di naskah draf awal ini dapat ditemukan sejumlah pasal yang isinya berpotensi meminggirkan perempuan kepala keluarga, buruh migran perempuan, dan perempuan bercerai karena dinilai melalaikan kewajiban menjaga ketahanan keluarga. Hal ini terungkap dalam Webinar Diskusi We Lead pada 14 Agustus 2020. Secara telak dapat kita temukan sejumlah pasal yang rumusannya kontroversial karena mengatur perihal normatif dan privat seperti rincian kewajiban istri, peran suami, persoalan alokasi ruang tidur dalam rumah, potensi persekusi terhadap LGBT, hingga kriminalisasi praktik surogasi rahim. Ini semua tercantum dalam naskah RUU KK versi awal yang beredar sejak Februari 2020.

Merespons kritik dari berbagai kalangan, para pengusul RUU KK melakukan revisi terhadap naskah awal RUU tersebut dan mengeluarkan draf baru pada Agustus 2020 (draf terlampir). Draf RUU KK yang baru ini jauh lebih ringkas, terdiri dari bagian Konsideran, 12 (dua belas) Bab dan 66 jumlah Pasal serta lampiran penjelasan. Hampir setengah jumlah pasalnya berkurang dibandingkan draf awal. Draf baru ini dipresentasikan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga pada 21 September 2020. Dalam draf baru RUU KK versi Agustus 2020, semua rumusan pasal kontroversial seperti disebutkan sebelumnya telah dihapus. Bahkan, dapat dikatakan rumusan pasal pada draf baru RUU KK terlihat “hati-hati” sehingga apa yang tersurat di permukaan terkesan baik-baik saja.

Draf baru RUU KK yang dikeluarkan pada Agustus 2020 antara lain menyebutkan bahwa pembangunan ketahanan keluarga dibutuhkan untuk menghindari kerentanan keluarga, yang diintegrasikan dalam rencana induk yang disusun oleh Pemerintah Pusat. Negara diposisikan sebagai penanggung jawab hirarkis tata kelola keluarga. Keluarga sebagaimana didefiniskan dalam RUU KK disebutkan berhak mendapatkan berbagai pelayanan dan fasilitas dari pemerintah. Dalam presentasi di hadapan Baleg tanggal 21 September, salah satu pengusul dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan bahwa keluarga harus dijadikan dasar kebijakan publik.

Pada saat bersamaan, beragam kelompok masyarakat sipil pegiat hak-hak perempuan sedang disibukkan oleh upaya untuk mendorong kembali masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas Prioritas 2021. Sementara itu, proses legislasi RUU Ketahanan Keluarga berjalan terus di tengah minimnya keterlibatan kelompok masyarakat sipil. Hal ini menjadi catatan tersendiri tentang bagaimana DPR RI menetapkan prioritas agenda kebijakan.

Sebagai lembaga riset kebijakan yang mengedepankan perspektif gender, CWI telah melakukan sejumlah riset sejak 2017 terkait partisipasi perempuan dan kepemimpinan politik perempuan di ranah legislatif, partai politik, pemerintahan daerah, dan birokrasi. CWI mencatat bahwa terdapat pola temuan meski intensitasnya beragam. Dalam wawancara dengan perempuan potensial di keempat ranah tersebut, keluarga kerap kali dikenali sebagai sumber dukungan utama bagi perempuan yang berhasil mengembangkan partisipasi politiknya di ranah publik. Di sisi lain, keluarga juga dirujuk sebagai sumber tantangan bagi mereka yang merasa kesulitan bernegosiasi dalam alokasi tanggung jawab domestik. Dengan kata lain, dinamika yang terjadi dalam relasi perempuan di keluarganya merupakan faktor penting yang memengaruhi perempuan dalam mengambil pilihan-pilihan terkait pengembangan dirinya di ruang publik. Dalam kerangka inilah CWI menyelenggarakan diskusi publik bertema “Membincangkan Urgensi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah dan Islam”.

Tujuan Diskusi
Membincangkan naskah RUU KK dari tiga sudut pandang, yakni perspektif hukum, perspektif sejarah, dan perspektif agama Islam. Diskusi ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan publik dalam memahami rencana penyusunan draf RUU bertajuk ‘Ketahanan Keluarga’; tidak hanya berdasarkan apa yang tersurat tapi juga tersirat, terutama dengan fokus pada draf baru yang dikeluarkan Agustus 2020.

Waktu, Tempat, dan Narasumber
Diskusi ini diselenggarakan secara daring menggunakan aplikasi Zoom pada hari Jumat, 2 Oktober 2020 pukul 15.30–17.30 WIB, serta disiarkan secara langsung melalui kanal youtube Cakra Wikara Indonesia.

Narasumber diskusi ini terdiri dari:

  1. Lidwina Inge Nurtjahyo (Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
  2. Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena)
  3. K.H. Imam Nahe’I (Komisioner Komnas Perempuan)

Moderator: Dirga Ardiansa (Cakra Wikara Indonesia)

Catatan Diskusi

Dalam presentasinya, ketiga orang narasumber menggunakan perspektif yang menjadi kepakarannya masing-masing untuk menganalisis isi draf RUU KK. Dengan menggunakan paradigma hukum kritis, Lidwina Inge Nurtjahyo menandaskan pentingnya mengenali filosofi dibalik pembentukan suatu produk hukum. Filosofi ini dapat digali dengan pengajuan sejumlah pertanyaan kritis, yakni: apakah produk hukum tersebut mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia; apakah produk hukum yang akan dihasilkan tersebut mengakomodir pengalaman kelompok-kelompok dengan keberagaman identitas dalam konteks Indonesia yang plural; dan implikasi apa yang akan dihadapi oleh unit keluarga–khususnya perempuan Indonesia dengan latar belakang serta pengalaman yang beragam apabila produk hukum tersebut diberlakukan. Inge juga menyoroti bagian Konsideran draf RUU KK Agustus 2020 yang dinilai abai terhadap sejumlah undang-undang terkait yang telah lebih dulu ada, seperti UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Perlindungan HAM dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Selanjutnya, penelusuran pasal per pasal dilakukan dan Inge mencatat sejumlah problem mulai dari Pasal 1 yang memuat definisi “keluarga”, “perkawinan yang sah”, frasa “keluarga sedarah” serta “keluarga berkualitas” yang uraiannya rancu dan terlihat mengabaikan realita yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Selanjutnya, “asas pencegahan” pada pasal 2 juga bermasalah karena uraiannya berbasis pada prediksi dan asumsi. Hukum yang mengikat secara luas tidak boleh didasarkan pada asumsi. Pasal 9 mengatur tentang komponen “ketahanan psikologis” yang terkesan tumpang tindih dengan peraturan lain seperti UU Kesehatan, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Perlindungan Anak. Pasal 10 tentang “tahap perkembangan keluarga” memaksakan konsep keluarga yang hanya terbentuk berdasarkan perkawinan padahal di Indonesia banyak keluarga yang tetap harmonis meskipun orang tua telah tiada atau dengan orang tua tunggal. Pasal 14 tentang “perlindungan khusus keluarga” merupakan pasal yang ambigu cakupannya. Sejumlah problem lanjutan juga diangkat oleh Inge pada bagian Tinjauan Umum dan Naskah Akademik (NA) draf RUU versi Agustus 2020. Alur argumentasi yang disusun dalam NA masih meletakkan beban terberat kepada perempuan sebagai seorang ibu. Perumusan masalah yang bias gender dan sarat stereotip muncul ketika perempuan disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pertengkaran antara suami istri, glorifikasi berlebihan mengenai kehadiran ayah sebagai yang mutlak diperlukan dalam perkembangan anak remaja terlihat tanpa dukungan hasil riset ilmiah dan abai terhadap sejumlah kasus yang menunjukkan pengalaman perempuan yang justru berhadapan dengan ayah sebagai pelaku kekerasan terhadap anak dan istrinya.

Dari perspektif sejarah dan filsafat, Ruth Indiah Rahayu melihat bahwa kemunculan RUU KK mencerminkan bangkitnya keinginan untuk kembali menghidupkan ideologi “ibuisme” yang dicanangkan rezim Orde Baru di Indonesia. Ideologi ini pada intinya menjustifikasi intervensi negara untuk mengendalikan keluarga lewat penundukkan tubuh perempuan. Pengaturan keluarga terkait erat dengan upaya melestarikan kekuasaan politik tertentu, Ruth mengingatkan. Dalam penelusuran sejarah, menurutnya hal serupa dapat ditemukan pada rezim fasisme Benito Mussolini di Italia dan rezim Partai Nazi pimpinan Adolf Hitler di Jerman. Konsep keluarga inti tradisional menjadi pusaran ideologi kedua rezim tersebut yang praktiknya berjalan di atas eksploitasi terhadap perempuan yang dipaksa untuk segera menikah dan melahirkan anak-anak. Di Indonesia, menurut Ruth, hal serupa terjadi juga sejak jaman penjajahan Jepang dan kembali diadopsi oleh rezim otoriter Orde Baru. Pada praktiknya, negara mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB) dan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Tidak jarang, mobilisasi militer dengan kekerasan terjadi di lapangan demi implementasi Program KB.

Intervensi negara melalui pengendalian unit keluarga dan penundukkan tubuh perempuan erat hubungannya dengan mitos manusia pertama di bumi, Adam dan Hawa. Semangat di balik draf RUU KK mencerminkan upaya mengembalikan intervensi negara pada keluarga inti yang sarat dengan bias gender dan berpotensi meminggirkan perempuan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab jika terjadi masalah kerentanan keluarga. Ruth mengingatkan, draf RUU KK menjadi pertanda awal gejala fasisme yang berebut tempat dalam kekuasaan negara.

Dari lensa agama Islam, KH. Imam Nahe’i mengatakan bahwa sebenarnya Kompilasi Hukum Islam telah memuat sejumlah prinsip untuk membangun ketahanan keluarga, yakni yang bernaung di bawah prinsip mubadalah atau prinsip kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Ini sangat dekat maknanya dengan kesetaraan. KH. Nahe’i menilai kemunculan RUU KK mengindikasikan ada ideologi yang dipaksakan masuk di tengah dinamika gerakan perempuan di Indonesia dan ini dibangun atas dasar norma agama. Kelompok feminis muslim ikut mengkritik RUU KK karena dianggap berpotensi mengembalikan perempuan ke ranah domestik. Draf RUU KK, menurut KH. Nahe’i, melakukan pembatasan makna keluarga, membakukan pembagian peran dan tugas domestik serta berpotensi mengkriminalisasi anggota keluarga yang suatu waktu dinilai tidak tunduk mengikuti norma tertentu. Ia mengingatkan bahwa sejak masa Nabi, Islam telah mengenal praktik adopsi hingga memungkinkan terbentuknya suatu keluarga tanpa harus melalui perkawinan dan kehadiran anak tidak mutlak berasal dari sepasang suami istri yang terikat perkawinan. Bangunan keluarga yang kuat dalam perspektif Islam justru mengedepankan kesalingan atau kesetaraan yang ikut melindungi terpenuhinya hak-hak perempuan untuk menentukan kapan dan dengan siapa ia menikah, keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri, serta perkawinan yang ditujukan untuk membangun ketentraman serta sebagai salah satu upaya membebaskan diri dari perbudakan dan eksploitasi. Sejumlah pilar yang menurut KH. Nahe’i penting melandasi sebuah perkawinan meliputi pilar-pilar mu’asyarah bil ma’ruf, taradhin, tasyawurin, husnu at-tafahum, tasamuh, dan meletakkan prinsip-prinsip al-’adalah, at-tawazun al-mubadalah. KH. Nahe’i menilai selama draf RUU KK tidak mengedepankan prinsip kebaikan, musyawarah, dan kesalingan, maka yang terbentuk adalah keluarga yang hakikatnya rapuh.

Pada bagian penutup diskusi, ketiga narasumber bersepakat menggarisbawahi bahwa ditinjau dari masing-masing perspektif hukum, sejarah dan filsafat serta agama Islam, tidak ditemukan urgensi pembentukan RUU KK bagi masyarakat di Indonesia. Draf baru RUU KK, meskipun isinya telah direvisi dan menghapus berbagai rumusan pasal kontroversial, secara keseluruhan tidak diperlukan karena isi maupun intensinya justru berpotensi memicu berbagai persoalan baru, alih-alih menawarkan jalan keluar atas permasalahan yang benar-benar ada di masyarakat Indonesia (amlg).

Diskusi ini juga dapat disaksikan melalui kanal YouTube Cakra Wikara Indonesia:
https://www.youtube.com/watch?v=sRLyuC3h-KM

Rujukan: Rapat Badan Legislasi DPR RI 21 September 2020 dengan agenda presentasi pengusul dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Ketahanan Keluarga (video: tinyurl.com/RapatBalegRUUKK) .