Latar Belakang
Pada September 2019 lalu gerakan mahasiswa bersama elemen gerakan sosial lain secara masif kembali turun ke jalan, hingga muncul bingkai gugatan #reformasidikorupsi. Gelombang gerakan serupa juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Ada tujuh tuntutan yang diminta; cabut dan kaji ulang sejumlah undang-undang maupun rancangannya yang dianggap bermasalah, batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR, tolak TNI-Polri menempati jabatan sipil, stop militerisme di Papua dan daerah lain termasuk pembebasan tahanan politik Papua serta membuka akses jurnalis di sana, hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis, hentikan pembakaran hutan yang dilakukan korporasi, hingga tuntaskan pelanggaran HAM sertpa pemulihan hak-hak korban. Bagian dari tuntutan terkait undang-undang mencakup desakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Sementara di awal Juli lalu DPR justru mengumumkan dikeluarkannya kedua RUU tersebut dari daftar Prolegnas Prioritas. Pemerintah maupun DPR sama sekali tidak bergeming dengan komposisi pimpinan KPK, maupun pemulihan kondisi di Papua. Singkatnya, tidak satupun tuntutan gerakan #reformasidikorupsi yang dipenuhi, DPR malah mengesahkan RUU Minerba dan mempercepat proses pembahasan RUU Omnibus Cipta Kerja.
Respon DPR dan Pemerintah mencerminkan semakin terkonsolidasinya kekuatan otoriter dan oligarki dalam memastikan pencapaian kepentingan politik yang mengabaikan suara tuntutan gerakan. Sebagai tambahan, dalam Prolegnas tahun 2020 tercantum juga rencana revisi UU Pemilu, yang isinya secara langsung mengatur rangkaian proses pemilu. Muatan UU Pemilu merupakan muara yang secara formal mengatur siapa yang berpeluang masuk menjadi bagian dari DPR dan Pemerintah serta seperti apa caranya. Draft RUU Pemilu per 6 Mei 2020 semakin menunjukkan ruang kontrol dan partisipasi politik terus dipersempit. Upaya penyederhanaan partai politik terus coba dilakukan dengan mengutak-atik sistem pemilu dan sistem kepartaian dengan memperberat syarat pendirian partai politik, syarat keikutsertaan pemilu, syarat partai untuk lolos ke parlemen, hingga syarat bagi partai untuk mencalonkan Kepala Daerah hingga Presiden. Di tengah situasi DPR dan Pemerintah tampak semakin abai terhadap suara tuntutan gerakan, seperti apa masyarakat sipil – termasuk gerakan mahasiswa – sebaiknya bersikap? Saat ini gerakan masyarakat sipil semakin terfragmentasi karena fokus isu yang berbeda-beda dan menghadirkan tantangan berat konsolidasi bagi gerakan. Memang benar bahwa tidak semua gerakan terorganisir mau dan perlu bertanding di pemilu. Namun, seperti apakah pandangan gerakan tentang pentingnya berpartai?
Tujuan Diskusi Publik:
- Mendiskusikan berbagai tantangan partisipasi politik bagi gerakan mahasiswa dan gerakan anak muda saat ini dengan berefleksi pada ilustrasi dalam video CWI.
- Mendiskusikan kecenderungan sikap anti politik atau anti partai politik di kalangan anak muda dan gerakan mahasiswa serta menggali pandangan untuk menjawab tantangan gerakan sosial saat ini.
Waktu, Tempat, dan Narasumber
Diskusi Publik diselenggarakan pada hari Rabu , 29 Juli 2020, pukul 19.00 – 21.00 WIB / pukul 20.00 – 22.00 WITA melalui aplikasi Zoom

Video pemicu diskusi bisa disaksikan melalui youtube Cakra Wikara Indonesia
Video streaming diskusi publik juga bisa disaksikan di youtube Cakra Wikara Indonesia