Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan instrumen pengukuran kuantitatif terhadap kualitas demokrasi di Indonesia yang dilakukan sejak tahun 2009. Setelah berjalan selama delapan tahun, kondisi dan tantangan demokrasi mengalami perubahan baik teoretis maupun praksis yang tercermin dari berbagai literatur dan kajian ilmiah kontemporer. Untuk itu dibutuhkan penguatan instrumen IDI untuk bisa memotret kondisi demokrasi Indonesia.
Hal tersebut dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) Ahli bertema “Konsolidasi Demokrasi: Kajian Indeks Demokrasi Indonesia” yang dilaksanakan oleh Direktorat Politik dan Komunikasi Bappenas bekerjasama dengan Cakra Wikara Indonesia (CWI), The SMERU Research Institute, dan PUSAD Paramadina pada 4 Juli 2018 di Jakarta. FGD tersebut merupakan tahapan awal kerja penguatan IDI yang terdiri dari lima aspek, yaitu: Kajian kerangka teori dan konsep demokrasi; Perumusan operasionalisasi konsep: dimensi, variabel, dan indikator; Perumusan metode pengukuran; Perumusan metode pengumpulan data; dan Pemanfaatan dan Sosialisasi hasil IDI. Tim CWI, SMERU dan PUSAD akan memfokuskan kajian pada proses review dan penguatan IDI.
FGD dihadari para ahli diantaranya: Azyumardi Azra (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah), Abdul Malik Gismar (Universitas Paramadina), Daniel Dhakidae (PRISMA), Francisia S.S. Ery Seda (Universitas Indonesia), Meuthia Ganie-Rochman (Universitas Indonesia), Firman Noor (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Tim CWI, SMERU dan PUSAD memberikan paparan tentang pemetaan kerangka teori dan literatur terkait demokrasi; komparasi atas berbagai indeks demokrasi terkait aspek pengumpulan data dalam Indeks Demokrasi Indonesia; serta merumuskan rekomendasi untuk penguatan IDI. Tim mempresentasikan perkembangan teori dan konsep demokrasi serta beragam indeks demokrasi yang bertopang pada pondasi teoritik tersebut. Dalam kajiannya, tim melakukan studi literatur terhadap 15 teoritisi dan 7 indeks demokrasi.
Tabel Perkembangan Teori dan Indeks Demokrasi
Selain itu tim juga memetakan permasalahan demokrasi Indonesia yaitu munculnya oligarki yang membajak instusi demokrasi, meningkatnya ketimpangan akibat penguasaan sumberdaya ekonomi oleh segelintir orang dan masyarakat sipil yang terfragmentasi dan tidak terorganisir. Oleh karena itu, tim menawarkan definisi demokrasi yang dimaknai sebagai upaya penyebaran kekuasaan (power dispersion) untuk mencegah konsentrasi sumber kekuasaan pada sekelompok elite. Penyebaran kekuasaan harus berjalan di tiga ranah: politik, ekonomi dan masyarakat sipil.
Untuk menjamin persebaran kekuasaan, tim merumuskan enam prinsip demokrasi yang harus dipenuhi, diantaranya adalah: prinsip kebebasan, kedaulatan warga, kesetaraan, partisipasi, keterwakilan dan kapabilitas negara. Terobosan penting untuk penguatan IDI yang ditawarkan oleh tim adalah rekognisi masalah ketimpangan ekonomi yang berkontribusi pada masalah ketimpangan dan munculnya oligarki yang membajak demokrasi Indonesia.
Para ahli yang menjadi narasumber tidak menolak rekognisi dan upaya untuk mengukur aspek ekonomi dalam rancangan penguatan IDI. Lebih lanjut mereka mengajukan berbagai masukan untuk penguatan IDI. Daniel Dhakidae mengingatkan bahwa indeks demokrasi tidak bertujuan untuk membangun teori demokrasi tetapi bertujuan untuk memotret kondisi demokrasi saat ini dan memprediksi perkembangan di masa depan. Indeks demokrasi juga harus aplikatif untuk bisa digunakan oleh pemangku kebijakan untuk membuat perubahan.

Meuthia Ganie-Rohman melihat perlunya indeks demokrasi untuk melihat kapasitas masyarakat sipil dan mengidentifikasi berbagai bentuk partisipasi dalam platform digital sebagai dampak tak terhindarkan dari perkembangan teknologi informasi. Sementara itu Azyumardi Azra dan Firman Noor menekankan perlunya menambah literatur karya akademisi Indonesia untuk menjadi bahan kajian masalah demokrasi di Indonesia. Abdul Malik Gismar sebagai bagian dari perumus IDI menjelaskan bahwa tim IDI sebelumnya memilih untuk memfokuskan kajian pad aspek sosial politik saja. Untuk aspek ekonomi dilihat dari indeks-indeks lain.
Francisia Seda mengemukakan pentingnya melihat demokrasi dari aspek substansial ketimbang prosedural. Dia menyetujui pemilihan konsep demokrasi yang dimaknai sebagai upaya penyebaran kekuasaan dengan jalan de-monopolisasi sumberdaya di ranah politik, ekonomi dan masyarakat sipil. Untuk pengukuran dia mengingatkan untuk membuat instrumen pengukuran yang tepat agar bisa memotret fenomena di dua lapisan (layer) data yaitu pusat dan provinsi.
*Materi presentasi dapat diunduh di lampiran berikut.