Pada Senin, 14 Mei 2018, CWI menjadi salah satu presenter di acara Seminar Series yang diselenggarakan oleh DFAT (Department of Foreign Affair and Trade) Australia dan KSI di Kantor Kedutaan Besar Australia, Jakarta. Serial seminar yang ketiga ini mengambil tema GESI (Gender Equality and Social Inclusion) sebagai topik diskusi. CWI merupakan salah satu mitra KSI yang memiliki fokus kajian sosial politik dengan prespektif gender. Pada kesempatan ini CWI yang diwakili oleh Anna Margret dan Yolanda Panjaitan mempresentasikan kajian mengenai paradoks representasi politik perempuan. Selain CWI, hadir pula BaKTI sebagai mitra MAMPU yang mempresentasikan kajian mereka mengenai reses partisipatif. Ringkasan presentasi oleh CWI dapat disimak pada tulisan berikut.
Pada pemilu legislatif 2014 yang lalu, terjadi tren penurunan keterpilihan perempuan anggota DPR RI. Dari pemilu 2009 ke pemilu 2014, persentase perempuan anggota legislatif di DPR RI mengalami penurunan, sementara rata-rata di DPRD Kabupaten/Kota justru meningkat jumlahnya.
Table 1. Persentase perempuan caleg terpilih di DPR RI pada pemilu 2009 dan 2014
Tingkatan Legislatif | Tahun 2009 | Tahun 2014 |
DPR RI | 18% | 17% |
DPD RI | 28,8% | 25,8% |
DPRD Provinsi | 16% | 15,85% |
DPRD Kabupaten/Kota | 12% | 14% |
Hasil pemilu 2014 ini memperlihatkan beberapa dinamika capaian pada keterpilihan perempuan caleg di berbagai tingkatan. Di tingkat nasional, dari 77 dapil, terdapat 18 dapil yang memiliki lebih dari 30% perempuan caleg terpilih di DPR RI. Untuk tingkat provinsi, DPRD di 34 provinsi tercatat memiliki anggota legislatif perempuan. Sulawesi Utara menjadi provinsi yang memiliki persentase keterwakilan perempuan tertinggi dengan angka 31% (14 dari 35 anggota DPRD Sulawesi Utara). Di tingkat kabupaten/kota, terdapat 20 kabupaten/kota yang melebihi 30% keterwakilan perempuan di DPRD. Persentase tertinggi terdapat di DPRD Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara) dengan angka 42,86% keterwakilan perempuan.
Kenaikan (atau penurunan) keadiran perempuan di pemilu perlu dipahami dalam konteks dinamika kebijakan afirmatif. Telah ada upaya-upaya memperluas tindakan afirmatif dalam pemilu seperti dijelaskan dalam tabel berikut.
Table 2. Dinamika Kebijakan Afirmatif
Pemilu 2004 | Pemilu 2009 | Pemilu 2014 |
UU 31/2002 tentang Partai Politik: | UU 2/2008 tentang Partai Politik: | UU 2/2011 tentang Partai Politik: |
• Partai harus mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses rekrutmennya • Partai harus mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender pada pembentukan kepengurusan partai |
• Partai harus mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender pada proses rekrutmennya • Partai harus menyertakan sekurang-kurangna 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat nasional |
• Partai Politik harus mempertimbangkan untuk merekrut sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam proses rekrutmen • Partai harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat nasional |
UU 12/2003 tentang Pemilu: | UU 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD: | UU 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD: |
• Pada metode daftar pencaloan: Parpol harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam daftar kandidat legislatif | • Partai politik harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada daftar calonnya dan memasukkan paling sedikit 1 perempuan dari setiap 3 nama pada urutan daftar calon | • Parpol harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan pada daftar calon dan memasukkan paling sedikit 1 perempuan dari setiap 3 nama pada urutan daftar calon -> diperkuat dengan PKPU 7/2013 yang mengatur parpol agar mengimplementasikan aturan penempatan tersebut pada setiap dapil. • Caleg terpilih berdasarkan peraihan suara tertinggi di dapilnya (suara terbanyak) |
Meskipun upaya-upaya memperluas tindakan afirmatif telah dilakukan, pada kenyataannya caleg perempuan justru dimanfaatkan oleh partai politik semata sebagai peraih suara (vote-getters). Suara yang diperoleh caleg perempuan penting bagi partai politik untuk mengakumulasi jumlah suara yang lebih tinggi agar partai dapat memperoleh kursi dalam sistem pemilu proporsional, seperti ditampilkan pada tabel di bawah ini:
Table 3. Jumlah dan persentase perempuan caleg dan perempuan terpilih pada Pemilu DPR RI 2004, 2009, dan 2014
Pemilu 2004 | Pemilu 2009 | Pemilu 2014 | |
Jumlah perempuan caleg pada pemilu DPR RI | 2.507 | 3.91 | 2.467 |
Persetase perempuan caleg pada pemilu DPR RI | 33% | 34,7% | 37,3% |
Jumlah perempuan terpilih untuk DPR RI | 61 | 101 | 97 |
Persentase perempuan terpilih untuk DPR RI | 11,09% | 17,86% | 17,32% |
Tabel di atas menunjukkan persetase perempuan sebagai kandidat jauh lebih tinggi jumlahnya melampaui peresentase perempuan yang berhasil memenangkan kursi di DPR RI. Hal ini disebabkan perempuan tidak berada di nomor urut teratas pada daftar calon, atau diletakkan pada nomor-nomor urut bawah. Sehingga suara yang diberikan kepada perempuan tetap tidak dapat memenangkan perempuan. Perempuan caleg dimanfaatkan oleh partai politik sebagai peraih suara (vote-getters) semata, karena suara yang diraih oleh perempuan caleg penting bagi partai untuk mengakumulasi jumlah suara agar mendapatkan kursi pada sistem pemilu proporsional di Indonesia.
Bagaimana keterkaitan kebijakan afirmasi ini dengan representasi perempuan? Kebijakan afirmasi secara signifikan mampu meningkatkan jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif. Namun di sisi lain, pimpinan partai politik menganggap kebijakan ini sebatas aspek administratif yang harus dipenuhi dalam peraturan kepemiluan. Kebijakan afirmasi dalam partai politik juga berdampak bagi keterpilihan perempuan. Perempuan yang terlibat dalam kepengurusan/pimpinan pusat partai politik nyatanya memiliki kesempatan yang lebih besar dalam pencalonan di pemilu legislatif. Hal ini mengisyaraktan pentingnya keterlibatan perempuan di jajaran pimpinan partai sebagaimana telah diatur dalam UU Partai Poitik. Posisi perempuan yang lebih tinggi dalam partai membuka peluang keterpilihan yang lebih besar dalam pemilu.
Pada riset mengenai perempuan anggota DPRD Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat yang pernah kami lakukan di tahun 2012, ada beberapa temuan yang berhubungan dengan isu keterwakilan perempuan. Pertama, mayoritas perempuan anggota legislatif mengakui adanya hambatan untuk menjadi anggota pimpinan partai. Kedua, sejumlah perempuan anggota legislatif tidak pernah menjalankan peran legislasi dan hampir separuh dari mereka tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat anggaran. Ketiga, sejumlah besar perempuan anggota legislatif tidak punya pengetahuan mengenai Anggaran Responsif Gender. Keempat, mayoritas perempuan anggota legislatif tidak memiliki dukungan dari gerakan perempuan saat proses pencalonan.
Pengalaman yang terjadi di tataran nasional menunjukkan perempuan caleg DPR RI tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari partai mereka sendiri dalam proses pencalonan di pemilu legislatif. Kesuksesan mereka meraih kemenangan adalah atas dasar upaya individual dan beberapa dukungan dari elemen-elemen akar rumput yang berbasis masyarakat sipil. Hasil pemilu legislatif 2014 juga menunjukkan potensi dominasi partai pada otonomi perempuan. Elektabilitas caleg, termasuk caleg perempuan, sangat ditentukan oleh dukungan keuangan dan hubungan personal dengan elit politik. Anggota DPR RI yang berikap kritis terhadap partainya justru gagal terpilih kembali pada pemilu 2014. Reformasi partai yang berasaskan kepentingan publik harus menjadi agenda demi melawan oligarki partai.
*Dokumen presentasi oleh CWI dapat diunduh di lampiran berikut.