Transaksi politik warga dalam pemilu dimaknai sebagai suatu pertukaran sumberdaya tingkat lanjut antara pemilih dan kandidat. Pemilih bersifat lebih aktif dan terorganisir dengan tuntutan rinci dan spesifik terkait sumberdaya yang dipertukarkan serta disepakati melalui proses negosiasi dan didokumentasikan dalam bentuk kontrak atau perjanjian.
Tawaran terkait dengan pemaknaan transaksi politik warga tersebut disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) ahli yang bertema “Transaksi Politik dalam Pemilu” yang dilaksanakan oleh Cakra Wikara Indonesia dan didukung oleh Knowledge Sector Initiative. Diskusi ini dilakukan di Kantor KSI pada Selasa, 22 Mei 2018. FGD tersebut merupakan bagian dari tahapan penelitian yang dilakukan dengan menyampaikan pemaparan awal temuan riset. Dalam FGD dihadiri oleh para narasumber diantaranya Philip Vermonte (CSIS), Sebastian Salang (Formappi), dan Amalinda Savirani (Universitas Gadjah Mada).
Dalam pemaparan awal transaksi politik dalam pemilu, ada tiga kelompok yang menjadi unit analisis, yaitu pertama konsultan politik, kedua tim pemenangan partai politik, ketiga pendamping warga. Dalam Riset transaksi politik tim CWI mengidentifikasikan bentuk-bentuk transaksi politik yang dilakukan baik secara klientelistik maupun programatik serta mendalami beberapa kasus upaya warga untuk mengubah transaksi klientelistik ke transaksi programatik. Tim riset CWI memaparkan perbedaan antara transaksi politik programatik dan transaksi politik klientelistik (Stokes, 2013), yaitu:
No | Programatik | Klientelistik |
1 | Program dieksekusi setelah masa pemilu | Program dieksekusi pada masa pemilu |
2 | Anonim (mengacu pada fungsi dan peran dalam jabatan) | Identifikasi personal (melekat pada kandidat) |
3 | Program dieksekusi melalui kebijakan dan dibiayai oleh anggaran negara | Program dieksekusi secara personal dan cenderung dibiayai secara pribadi, atau penyalahgunaan anggaran Negara |
4 | Penerima manfaatnya adalah seluruh masyarakat yang memenuhi kriteria kelayakan tanpa diskriminasi | Penerima manfaatnya adalah sebagian masyarakat yang dianggap potensial dalam pemenangan kandidat. |
5 | Pelaksana program adalah birokrat | Pelaksanan program adalah tim dari kandidat |
6 | Program untuk pemenuhan kebutuhan kolektif | Program cenderung untuk pemenuhan kebutuhan personal |
Dalam temuan kasus empirik, transaksi klientelistik dilakukan dalam beberapa tahap mulai dari pemetaan basis dukungan potensial, penentuan alokasi sumberdaya untuk basis pendukung potensial dan distribusi sumberdaya kepada basis warga di akar rumput. Dalam beberapa kasus, mesin politik juga melakukan mobilisasi untuk memastikan warga pendukung datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya dan demobilisasi untuk menggagalkan warga datang ke TPS. Temuan penting lainnya, tim pemenangan partai politik, tim sukses kandidat dan konsultan politik bekerja dalam koordinasi yang saling mencurigai dan saling menihilkan satu sama lain. Temuan empirik lainnya menunjukkan bahwa ada kelompok-kelompok warga yang berupaya untuk melakukan transaksi programatik dengan cara melakukan kontrak politik dengan kandidat peserta pilkada. Dalam kontrak politik, warga berupaya menghimpun berbagai kepentingannya dan mengajukannya kepada para kandidat agar tuntutan warga dipenuhi oleh kandidat saat sudah menduduki jabatan kepala daerah. Namun kontrak politik memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa kandidat terpilih untuk memenuhi kontrak politik. Hal ini mendorong sekelompok warga untuk membuat kontrak politik memiliki kekuatan hukum yaitu dengan menyusunnya sebagai kontrak perjanjian perdata antara warga dengan kandidat. Hal ini memiliki beberapa konsekuensi. Pertama, kontrak politik dalam bentuk perjanjian perdata mengarah pada praktik transaksi klientelistik, karena penerima manfaat hanya warga yang melakukan kontrak politik meski tuntutannya bersifat programatik. Kedua, pada praktiknya kelompok warga berperan menjadi mesin politik baru karena mereka menjanjikan kemenangan kandidat di sejumlah TPS di lingkungan mereka.
Di lain pihak, ada pendamping warga yang tetap bertahan tidak menjadikan warga sebagai mesin politik pemenangan kandidat, meskipun mereka melakukan kontrak politik kandidat kepala daerah. Tujuan utama mereka adalah mendorong agar aspirasi warga dan strategi implementasinya bisa diadopsi menjadi kebijakan publik yang dibiayai oleh anggaran negara tanpa melihat siapa kandidat yang menang.
Selain itu, dalam diskusi terbatas tim CWI menawarkan transaksi politik warga dielaborasi dalam beberapa prinsip yaitu PARTISIPATIF, Posisi warga yang melakukan kesepakatan lebih terorganisir, aktif, dan posisi relatif setara. Berbeda dengan beberapa kasus yang mengidentifikasi warga bersifat pasif dalam menerima sumberdaya dari kandidat. KOLABORASI, politik dan pengorganisasian warga difasilitasi oleh kelompok pendamping warga dengan dukungan yang saling terkait dengan para akademisi dan ahli. NEGOSIASI, terdapat proses tawar menawar untuk pertukaran sumberdaya antara warga dengan kandidat. Hal yang dinegosiasikan bersifat rinci dan didukung dengan kontrak atau perjanjian yang bersifat kolektif. KOLEKTIF, tidak dilakukan secara individual berbasis pada kebutuhan spesifik individu, tetapi pada kebutuhan kolektif yang merupakan hasil identifikasi dan agregasi kebutuhan warga. WAKTU, bisa memiliki dimensi waktu yang lebih panjang dimana negosiasi dilakukan pada masa pemilu, dan pemenuhan janji dilakukan setelah masa pemilu (kandidat terpilih).
Tujuan pelaksanaan FGD ini adalah untuk meminta masukan terkait dengan tawaran strategi untuk mengubah transaksi politik klientelistik ke transaksi politik programatik. Para narasumber yang hadir dalam FGD memberikan masukan dan penajaman terkait dengan riset yang dilakukan, diantaranya perlu penajaman terkait dengan batas antara konsep programatik dan klientelistik.
*Dokumen presentasi oleh CWI dapat diunduh di lampiran berikut.