*Disusun oleh Anna Margret, Dirga Ardiansa, dan Yolanda Panjaitan untuk FGD Pembahasan Draft Visi Indonesia 2045 Bidang Politik Dalam Negeri, 6 Oktober di Kantor Bappenas RI
Kerangka Tata Kelola Politik Indonesia yang partisipatif, adil, dan setara
Politik dalam konsepsi Susan C. Stokes (2013) dimaknai sebagai sebuah proses pengalokasian dan pendistribusian sumber daya (resources) untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat secara politik dan ekonomi. Sumber daya adalah sesuatu yang memampukan masyarakat untuk menggapai kualitas hidup yang lebih baik. Sumber daya negara dialokasikan oleh pemerintah dan dewan dalam instrumen legislasi dan budgeting. Selanjutnya sumber daya ditransformasi dan didsitribusikan oleh pemerintah melalui birokrasi dalam implementasi kebijakan dan program pembangunan bagi masyarakat.
Kunci dari tata kelola politik yang demokratis adalah memastikan proses alokasi dan distribusi sumber daya dilakukan secara partisipatif, adil, dan setara. Pembangunan politik dilakukan untuk memastikan bahwa institusi dan lembaga politik bekerja dan menjalankan fungsinya untuk membuka, memberikan, dan memastikan akses kepada sumber daya dan kebutuhan dasar masyarakat yang masih mengalami kesenjangan, ketidaksetaraan dan ketimpangan.
Merujuk pada Gerard Roland (2004) pembangunan politik dan demokrasi tidak hanya mencakup pembangunan institusi-institusi berupa hadir dan berubahnya lembaga dan aturan formal. Tetapi juga upaya mengubahnya melalui pendidikan, budaya, dan dorongan sosial yang memberikan perspektif dan cara pandang masyarakat terhadap ekonomi dan politik. Karena menurut Roland sistem dan aturan formal tentang politik (seperti pemilu, partai politik, dan pemerintahan) juga ekonomi (pajak, ketenagakerjaan, investasi) bisa terjadi dalam waktu cepat bahkan besok mengalami perubahan kebijakan. Tapi bagaimana perspektif, nilai, dan cara pandang masyarakat mampu mengikuti, terlibat dan berkontribusi dalam pembangunan adalah hal yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Demokrasi masih menurut Stokes (2013) bukan hanya sekadar mendorong partisipasi masyarakat dalam ikut pemilu dan menentukan pemimpinnya, tetapi mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan ekonomi politik, yaitu proses alokasi dan distribusi sumber daya mulai dari pemetaan kebutuhan dan kepentingan, perencanaan, hingga pengawasan. Peran masyarakat sipil dan media menjadi penting untuk menjembatani pengambil kebijakan dengan masyarakat dalam bingkai demokrasi.
Berdasarkan dari data Indeks Demokrasi Indonesia yang mengukur kualitas demokrasi secara deret waktu setiap tahun sejak tahun 2009, dari 11 variabel IDI terdapat 4 variabel yang secara konsisten memiliki pola penilaian yang rendah yaitu Partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan; peran DPR/D; peran partai politik; dan peran birokrasi pemerintah. Berdasarkan hal tersebut sasaran dan strategi pembangunan politik bisa diarahkan pada perbaikan dan penguatan keempat aspek tersebut.
Sasaran dan Strategi Pembangunan Politik di Indonesia
- Pendidikan Politik yang memberikan perspektif politik bagi masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pemetaan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan bersama, perencanaan, hingga pengawasan Pendidikan politik bukan sekadar pendidikan pemilih untuk memilih pemimpin dan wakilnya. Pendidikan politik menjadi tugas bagi pemerintah melalui kementrian dan lembaga, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil.
- Perencanaan pembangunan yang partisipatif dengan menciptakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya. Pada UU No.6 tahun 2014 tentang Desa telah mengakomodir ruang keterlibatan masyarakat dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya dalam mekanisme musyawarah desa (penentuan RPJMDes, RKPDes, APBDes; membuat peraturan desa; masuk dan hadirnya investasi pihak luar; pemberian hibah pihak ketiga, pelepasan aset, pendirian Bumdes). Dorongan partisipasi politik dalam perencanaan pembangunan harus dimulai dari bawah dan unit spasial politik terkecil yakni desa. Diperlukan inovasi dan model perencanaan yang berbeda dari model musrenbang selama ini yang sangat prosedural dan sekadar mencari legitimasi semata. (CWI memiliki beberapa kajian terkait menghadirkan model tata kelola politik yang partisipatif, diantaranya riset yang bekerjasama dengan Kemenko PMK dan riset dengan direktorat politik dan komunikasi Bappenas)
- Peningkatan representasi perempuan pada ranah eksekutif/ birokrasi, legislatif, kepengurusan partai politik dan lembaga penyelenggara pemilu.
Data menunjukkan bahwa representasi perempuan di lembaga-lembaga tersebut masih sangat rendah. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan berbagai hambatan struktural dan kultural yang menghalangi perempuan untuk terlibat di dalamnya. Dalam hal representasi perempuan di lembaga legislatif, berikut adalah data jumlah dan persentase perempuan anggota DPR RI selama masa Reformasi.
Jumlah dan Persentase Anggota Perempuan DPR RI Hasil Pemilu 1999 – 2014
Tahun Pemilu | Jumlah Total Anggota DPR RI | Jumlah Anggota Perempuan | Persentase |
1999 | 500 | 45 | 9,00 |
2004 | 550 | 61 | 11,09 |
2009 | 560 | 101 | 17,86 |
2014 | 560 | 97 | 17,3 |
Setelah adanya ketentuan afirmasi dalam UU politik, terjadi peningkatan persentase anggota perempuan DPR RI. Kenaikan paling signifikan terjadi pada hasil Pemilu 2009 sebesar sekitar 18%, dan kemudian sedikit menurun pada Pemilu 2014. Walaupun terjadi peningkatan, pada faktanya persentase perempuan anggota DPR RI masih jauh di bawah jumlah anggota laki-laki.
Di tingkat daerah, representasi perempuan di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota juga masih sangat rendah. Data menunjukkan dari total kursi DPRD provinsi seluruh Indonesia hasil Pemilu 2014, persentase anggota perempuan hanya rata-rata 16%, tidak ada peningkatan dari rata-rata hasil Pemilu 2009 (16%). Sementara untuk DPRD kabupaten/kota, hasil Pemilu 2014 menunjukkan rata-rata jumlah anggota perempuan sebesar 14%, naik sedikit dari rata-rata hasil Pemilu 2009 sebesar 12%.
Untuk representasi perempuan di ranah eksekutif, selanjutnya di bawah ini adalah data terpilah jumlah PNS di 34 kementerian dan LAN serta BKN pada tahun 2014, 2015 dan 2016.
Jumlah PNS di 34 Kementerian dan dua lembaga negara (LAN dan BKN)
Tahun | Jumlah Total PNS di 34 Kementerian + LAN dan BKN | Jumlah PNS Laki-Laki | Jumlah PNS Perempuan | % PNS Perempuan |
2014 | 371.936 | 233.612 | 138.324 | 37.19 |
2015 | 860.175 | 525.777 | 334.398 | 38,88 |
2016 | 821.818 | 496.616 | 325.202 | 39,57 |
Sumber: BKN, diolah oleh Cakra Wikara Indonesia |
Data di atas menunjukkan jumlah PNS laki-laki secara keseluruhan masih jauh di atas jumlah PNS perempuan. Setelah ditelusuri lagi, ketimpangan semakin terlihat di tingkatan eselon, dengan semakin hilangnya PNS perempuan dalam jabatan-jabatan tinggi. Data berikut memperlihatkan hal tersebut:
Tahun | Persentase PNS Laki-laki Eselon | Persentase PNS Perempuan Eselon |
2014 | 77,25 | 22,75 |
2015 | 77,83 | 22,17 |
2016 | 74,13 | 25,87 |
Representasi perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu pun masih sangat rendah. Berikut data terpilah jumlah anggota lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di tingkat nasional:
KPU RI
Periode Kerja | Laki-laki | Perempuan |
2002-2007 | 5 | 2 |
2007-2012 | 4 | 3 |
2012-2017 | 6 | 1 |
2017-2022 | 6 | 1 |
Saat ini di KPU RI periode 2017-2022, dari 7 orang anggota hanya ada 1 orang perempuan (14,28%). Sementara di KPU tingkat provinsi periode 2013-2018 dari total 172 anggota, hanya ada 34 orang perempuan (20% P, 80% L).
Selanjutnya di bawah ini adalah data untuk Bawaslu:
BAWASLU RI
Periode Kerja | Laki-laki | Perempuan |
2008-2012 | 2 | 3 |
2012-2017 | 4 | 1 |
2017-2022 | 4 | 1 |
Saat ini di Bawaslu RI periode 2017-2022, dari 5 orang anggota hanya ada 1 perempuan (20%). Sementara di Bawaslu tingkat provinsi periode 2013-2018 dari total 102 anggota, hanya ada 19 orang perempuan (19% P, 81% L).