Pada tanggal 9 dan 10 Agustus 2017, Bappenas menyelenggarakan konferensi tahunan berjudul Indonesia Development Forum 2017, sebuah forum bagi para pemimpin Indonesia di sektor pemerintah, swasta, akademisi, dan warga masyarakat lainnya untuk berkolaborasi dalam membentuk agenda pembangunan Indonesia. Konferensi ini bertujuan untuk menerbitkan pemikiran terbaru dan memfasilitasi dialog publik-swasta tentang tema-tema yang menjadi prioritas pembangunan. Dalam acara ini, CWI berkesempatan mengisi sesi Inspirasi, dimana presenter berbagi cerita perubahan dan praktik terbaik dalam mengatasi ketimpangan. Inspirasi yang dipresentasikan oleh Anna Margret berfokus pada kebijakan afirmatif sebagai upaya dalam mengatasi ketimpangan yang dibawakan dalam sesi Inspire VII: Inequality of Opportunities in Indonesia.
Gender BUKAN sinonim untuk perempuan. Masalah gender adalah persoalan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan yang tercermin dalam beragam bentuk diskriminasi, peminggiran, ketidakadilan, eksploitasi, penindasan, kekerasan dan ketidakberdayaan. Dalam sebuah masyarakat, kesetaraan perempuan dan laki-laki dapat menjadi tolak ukur untuk melihat peradaban sosial. Hari ini mari kita periksa kesetaraan itu dalam ranah lembaga legislatif (nasional), lembaga penyelenggara pemilu, dan jajaran birokrasi di 34 Kementerian.
Tren keterpilihan perempuan dalam pemilu yang dilihat sejak penyelenggaraan pemilu demokratis pasca Orde Baru mencatat kenaikan jumlah secara perlahan sejak Pemilu 1999:
- Hasil Pemilu 1999 : 9 % di DPR RI
- Hasil Pemilu 2004 : 11,8 % di DPR RI
- Hasil Pemilu 2009 : 18 % di DPR RI (16% di DPRD I; 12 % di DPRD II)
- Hasil Pemilu 2014 : 17 % di DPR RI (16% di DPRD I; 14% di DPRD II)
Untuk menelusuri lebih lengkapnya sejak Pemilu pertama di Indonesia:
Pemilu | Total Anggota DPR | Jumlah Anggota Perempuan | Persen (%) |
1955 | 272 | 17 | 6,25 |
1971 | 460 | 36 | 7,83 |
1977 | 460 | 29 | 6,30 |
1982 | 460 | 39 | 8,48 |
1987 | 500 | 65 | 13,00 |
1992 | 500 | 62 | 12,50 |
1997 | 500 | 54 | 10,80 |
1999 | 500 | 45 | 9,00 |
2004 | 550 | 61 | 11,09 |
2009 | 560 | 101 | 17,86 |
2014 | 560 | 97 | 17,32 |
Keterangan: Jumlah anggota perempuan DPR RI periode 2009-2014 sempat berubah menjadi 103 (18.3%) orang disebabkan pergantian antar waktu (PAW). |
Kebijakan Afirmatif untuk peningkatan jumlah perempuan dalam Pemilu di Indonesia untuk pertama kalinya digunakan menjelang pemilu tahun 2004 dalam bentuk “himbauan” bagi partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurangnya 30% perempuan di dalam daftar calon legislatif (UU Pemilu Nomor 12 / 2003). Secara bertahap pada pelaksanaan kedua pemilu selanjutnya aturan tentang kebijakan afirmatif untuk perempuan dalam pencalonan pemilu legislatif terus mengalami revisi dan penguatan. Perlu dicatat, afirmasi jumlah caleg perempuan tidak sama dengan sistem kuota atau penjatahan. Caleg perempuan tetap harus berkompetisi dengan caleg laki-laki dalam pemilu untuk memenangkan kursi.
Lalu apa yang terjadi?
- Kenaikan jumlah perempuan terpilih menjadi anggota DPR RI secara signifikan terjadi mulai tahun 2004 dan 2009.
- Pada periode 2004-2009, DPR RI mampu menghasilkan produk legislasi yang pro terhadap kepentingan perempuan, yakni UU tentang penghapusaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), UU tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, UU tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, UU usaha mikro, kecil, dan menengah, UU kesehatan, UU perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga dan UU pemilu dan penyelenggara pemilu (yang memperkuat kebijakan afirmatif untuk perempuan).
- Produk legislasi DPR RI periode 2009-2014 yang pro kepentingan perempuan atau mengatur keterwakilan perempuan diantaranya UU partai politik (mengatur keterwakilan perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai), UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU penanganan konflik sosial, UU penyelenggara pemilu, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Desa
Pemilu yang demokratis dan bersih tidak cukup dilihat dari kelancaran prosedural yang terselenggara secara reguler dan damai, namun juga tercermin dari integritas lembaga penyelenggara pemilu. Mulai tahun 2007 lah terdapat UU Penyelenggara Pemilu yang mengatur tentang keterwakilan perempuan dan kembali diperkuat dalam UU di tahun 2011.
Undang-undang dan Isu | Pemilu 2004 | Pemilu 2009 | Pemilu 2014 |
UU Partai Politik | |||
Fungsi Rekrutmen | Memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender | Memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender | Mempertimbangkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan |
Kepengurusan | Memperhatikan keterwakilan perempuan | Menyertakan sedikitnya 30% perempuan | Menyertakan sedikitnya 30% perempuan |
UU Pemilu | |||
Metode Pencalonan | Memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pencalonan legislatif. | Daftar calon memuat 30% calon perempuan; | Daftar calon memuat 30% calon perempuan; |
Setiap tiga calon minimal satu perempuan. | Setiap tiga calon minimal satu perempuan. | ||
UU Penyelenggara Pemilu | |||
Keanggotaan dalam lembaga penyelenggara pemilu. | — | Keterwakilan perempuan dalam keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu. | Keterwakilan perempuan sebagai anggota Tim Seleksi dan dalam keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu. |
Sumber: Diolah dari UU No. 31/2002, UU No. 12/2003, UU No. 2/2008, UU No. 10/2008, UU No. 2/2011, UU No. 8/2012, UU No. 22/2007 dan UU No. 15/2011. |
Dengan muatan dan penguatan kebijakan afirmatif pada UU yang mengatur tentang lembaga penyelenggara pemilu, jumlah pendaftar perempuan pun tercatat mengalami kenaikan signifikan – meski sayangnya inipun tidak serta merta mencerminkan hasil akhir seleksi.
Kandidat yang Lolos Seleksi Tahap 1 Penyelenggara Pemilu di tahun 2012 dan 2017
Kategori | KPU | Bawaslu | ||
2012 | 2017 | 2012 | 2017 | |
Total Jumlah Kandidat | 106 | 300 | 61 | 217 |
Jumlah dan Presentase Kandidat Laki-laki | 86 (81%) | 219 (73%) | 47 (77%) | 161 (74%) |
Jumlah dan Persentase Kandidat Perempuan | 20 (18,8%) | 81 (27%) | 14 (23%) | 56 (26%) |
Kandidat yang Lolos Seleksi Tahap 2 Penyelenggara Pemilu di tahun 2012 dan 2017
Kategori | KPU | Bawaslu | ||
2012 | 2017 | 2012 | 2017 | |
Total Jumlah Kandidat | 30 | 36 | 18 | 22 |
Jumlah dan Presentase Kandidat Laki-laki | 22 (73%) | 25 (70%) | 13 (72%) | 13 (59%) |
Jumlah dan Persentase Kandidat Perempuan | 8 (27%) | 11 (30%) | 13 (59%) | 9 (41%) |
Kandidat yang Lolos Seleksi Tahap 3 Penyelenggara Pemilu di tahun 2012 dan 2017
Kategori | KPU | Bawaslu | ||
2012 | 2017 | 2012 | 2017 | |
Total Jumlah Kandidat | 14 | 14 | 10 | 10 |
Jumlah dan Presentase Kandidat Laki-laki | 10 (71%) | 10 (71%) | 8 (80%) | 7 (70%) |
Jumlah dan Persentase Kandidat Perempuan | 4 (29%) | 4 (29%) | 2 (20%) | 3 (30%) |
Lalu, seperti apa capaian kesetaraan gender dalam birokrasi kementerian yang hingga sekarang sama sekali belum memiliki payung kebijakan afirmatif. Profil distribusi jumlah pegawai negeri sipil (PNS) perempuan dan laki-laki di 34 Kementerian dalam kurun waktu 2014 hingga 2016:
Tahun | Jumlah Total PNS di 34 Kementerian | Jumlah PNS Laki-Laki | Jumlah PNS Perempuan | Persentase PNS Perempuan (%) |
2014 | 369.524 | 232.120 | 137.404 | 37,18 |
2015 | 854.936 | 522.323 | 332.613 | 38,91 |
2016 | 817.268 | 493.704 | 323.528 | 39,59 |
Ilustrasi gambar berikut lebih lugas menunjukkan selama tiga tahun terakhir jumlah PNS perempuan selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Ketimpangan jumlah PNS perempuan dan laki-laki semakin menajam ketika kita periksa lebih lanjut dalam jenjang promosi jabatan dan pangkat pada struktur birokrasi. Kita lazim mengenal jabatan eselon untuk mengacu pada pangkat jabatan PNS selain golongan. Dalam UU ASN nomor 5/2014 penggunaan ‘eselon’ diubah menjadi jabatan pimpinan tinggi, jabatan fungsional dan jabatan administrasi. Jabatan pimpinan disetarakan dengan eselon I dan II.
- 2014: Dari total PNS hanya tersedia 7,31% jabatan eselon dan dari jumlah kecil tersebut, sebagian besar (77,41%) adalah laki-laki dan hanya 22,59% yang diraih perempuan.
- 2015: Dari total PNS hanya tersedia 3,8% jabatan eselon. Jumlahnya lebih kecil dibanding tahun sebelumnya dan dari jumlah tersebut, sebagian besar (77,94%) adalah laki-laki dan hanya 22,06% perempuan.
- 2016: Dari total PNS hanya tersedia 6,75% jabatan eselon dan dari jumlah tersebut, sebagian besar (74,21%) adalah laki-laki dan hanya 25,79% perempuan.
Data di atas menunjukkan semakin tinggi jabatannya, semakin sedikit jumlah PNS perempuan yang menduduki kursi atau trend bottle neck yang merefleksikan seolah hilangnya PNS perempuan sejalan dengan promosi jabatan tinggi pada struktur birokrasi PNS di 34 Kementerian. Pola ini sempat sedikit membaik di 2015 lalu stagnan di 2016 sebagaimana terlihat berikut (angka dalam persen (%)):
Tahun 2014
Tahun 2015
Tahun 2016
Sebaran jumlah PNS perempuan yang berhasil meraih promosi jabatan tinggi cukup beragam di antara 34 kementerian, ada yang cukup baik namun ada pula yang buruk. Baik (satu senyum) karena penerimaan PNS perempuan setara dengan laki-laki sebagaimana terlihat di Kemenkes dan sangat baik karena penerimaan serta promosi jabatan PNS perempuan setara dengan laki-laki seperti di KPPPA (dua senyum). Buruk (satu sedih) karena penerimaan PNS perempuan jauh timpang dibandingkan dengan laki-laki sebagaimana di Kemenhub dan sangat buruk (dua sedih) karena meskipun penerimaan PNS perempuan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan laki-laki, promosi jabatan didominasi oleh PNS laki-laki seperti tampak pada profil sebaran PNS di Kemenag.
Sumber data: BKN RI, diolah kembali oleh CWI
Birokrasi kementerian merupakan satuan instansi yang bertugas menjalankan kebijakan sekaligus juga memiliki diskresi untuk menyusun kebijakan teknis serta berperan sebagai instansi dengan tanggung jawab menyediakan layanan publik. Sejak tahun 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan survey integritas sektor publik yang ditujukan untuk melihat persepsi masyarakat terhadap unit layanan publik yang ada di Kementerian dan Lembaga setingkat Kementerian. Suvey Integritas Sektor Publik memetakan tingkat integritas unit layanan yang dilakukan instansi publik terkait yang hasilnya digunakan sebagai dasar pijakan bagi kegiatan perbaikan integritas dan antikorupsi di sektor layanan publik. Hasil survey KPK tahun 2014 atas 20 Kementerian mencatat ada 2 Kementerian yang terus menunjukkan hasil survey nilai merah dan tidak ada perbaikan dari tahun sebelumnya; yakni Kementerian Perhubungan dan Kementerian Agama. Masih harus dilakukan riset terpisah apakah kehadiran PNS perempuan (pada eselon tinggi) dalam jumlah yang memadai/ mencapai jumlah kritis berkontribusi terhadap mutu kualitas layanan publik dan integritas sektoral pada instansi terkait. Patut diduga apakah kualitas layanan dan integritas sektor publik memang ikut dipengaruhi oleh tingkat promosi jabatan yang setara antara PNS perempuan dan laki-laki.
Kebijakan terkait PNS diatur dalam UU ASN dan Peraturan turunannya mengedepankan prinsip kompetensi dan persamaan dalam promosi jabatan berbasis meritokrasi. Cara pandang promosi karir PNS berbasis kompetensi tampaknya tidak dapat mengoreksi persoalan ketimpangan proporsi perempuan dalam memperoleh jabatan struktural birokasi. Bahkan dalam beberapa kesempatan wawancara, rendahnya jumlah PNS perempuan mengisi promosi jabatan ditudingkan menjadi kesalahan perempuan sendiri yang enggan mengurus proses naik jabatan akibat lebih mendahulukan keluarga daripada karir. Hal ini sesungguhnya perlu dilihat sebagai persoalan stuktural. Diperlukan langkah terobosan formal untuk memfasilitasi dan mendorong peningkatan jumlah PNS perempuan dalam meraih jabatan tinggi karena di sanalah terdapat peluang untuk membuat perubahan kebijakan yang lebih responsif. Terobosan formal telah dilakukan pada ranah rekrutmen legislatif dan penyelenggara pemilu melalui kebijakan afirmatif. Revisi UU ASN yang saat ini sedang berlangsung perlu mempertimbangkan pentingnya mengadopsi kebijakan afirmatif sebagai upaya mengoreksi ketimpangan jumlah PNS perempuan dan laki-laki, terutama dalam mendorong promosi jabatan tinggi bagi PNS perempuan.
Gagasan tentang (jumlah) massa kritis pada jantung kebijakan afirmatif dilandasi asumsi dan ekspektasi bahwa karakter suatu lembaga publik akan ikut memengaruhi rangkaian proses aktivitas dan kebijakan yang dihasilkan. Dalam literatur ilmu politik, secara garis besar critical mass merujuk pada situasi keterpilihan perempuan dalam jumlah tertentu yang memadai akan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang lebih responsif terhadap perempuan. Namun, perkembangan keterpilihan perempuan perlu disandingkan dengan konteks relasi kuasa (politik) antara perempuan dan laki-laki, bukan hanya dalam kompetisi mendapatkan kursi melalui pemilu maupun seleksi promosi jabatan, tapi juga dalam esensi perlawanan untuk memperjuangkan perubahan ketika sudah mendapatkan kursi.
Angka 30% diambil dari jumlah minimum “critical mass” atau massa kritis. Studi United Nations Division for the Advancement of Women (UN-DAW), menunjukkan bahwa suara perempuan, khususnya dalam menunjukkan dan memperjuangkan nilai-nilai, prioritas dan karakter khas keperempuanan, baru diperhatikan publik, apabila suaranya mencapai minimal 30-35%. Secara teoretik, critical mass adalah konsep yang menawarkan penjelasan mengapa perempuan (dan kelompok minoritas lainnya) berjuang untuk melakukan perubahan dalam berbagai dimensi di wilayah politik.
Memperjuangkan kenaikan jumlah demi kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam insitusi publik bukanlah soal menyatakan keunggulan sifat dasar yang lebih baik pada perempuan dibandingkan laki-laki. Ini soal keadilan. Keadilan untuk hadir dan mewakili kepentingan dalam lembaga-lembaga pembuat keputusan yang mengatur hajat hidup orang banyak. Kesetaraan jumlah perempuan dan laki-laki setidaknya merupakan satu langkah awal perubahan yang patut diperjuangkan karena dalam kesetaraan ada peluang lebih nyata untuk melawan eksploitasi, peminggiran, penindasan, diskriminasi dan ketidakberdayaan. Di kantor-kantor kementerian misalnya, tidak semua memiliki bangunan ruang laktasi yang memadai dan fasilitas lain pendukung kepentingan keluarga. Ya, kepentingan keluarga – bukan sekedar kepentingan perempuan namun kita tahu bahwa kepentingan merawat dan memelihara keluarga secara eksklusif umumnya dititipkan pada pundak perempuan. Di kantor-kantor kementerian yang memfasilitasi pemenuhan kepentingan keluarga dapat ditemukan PNS perempuan yang menduduki jabatan tinggi sehingga ada diskresi lebih untuk membuat perubahan pada institusi publik tersebut. Perubahan untuk pelayanan publik yang lebih baik dan berintegritas. Bukan sekedar soal peningkatan jumlah perempuan secara simbolik. Ketimpangan gender merupakan persoalan riil terkait keadilan. Maka dari itu, solusinya memerlukan terobosan di tingkat legislasi formal yang melindungi kesetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki.