CWI bersama dengan Pusako, Perludem, TePi, ICW, dan Kode Inisiatif membentuk koalisi untuk mendorong perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan dan tentang Kampanye. Perubahan yang ingin dilakukan adalah Dokumen visi misi program kandidat menjadi dokumen yang hidup selama tahap pemilu khususnya di masa kampanye. Artinya dokumen visi misi program kandidat bisa diubah dan ditambahkan berdasarkan proses diskusi dan masukan dari masyarakat selaku pemilih, karena hal ini merupakan bentuk substantif dari partisipasi politik dalam pemilu yaitu bisa turut terlibat dalam proses memengaruhi program dan kebijakan pembangunan. Hal ini didasarkan pada persoalan selama ini yang menempatkan dokumen visi misi program kandidat hanyalah syarat administratif formal pencalonan yang tidak bisa diubah lagi. Sehingga proses pemilu/pilkada hanyalah proses sosialisasi visi misi program semata.
Konteks dan Tantangan
Visi-misi program kandidat memiliki posisi penting dalam pengalokasian sumber daya karena Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa visi-misi kandidat terpilih akan menjadi basis rujukan untuk penyusunan rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya (RPJMD, RKPD dan APBD). Sementara, proses pendistribusian sumber daya terjadi ketika suatu kebijakan dan program pembangunan diimplementasikan dan manfaatnya dinikmati oleh warga. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa visi-misi program kandidat menjadi rujukan untuk penyusunan RPJMD.
Visi misi program kepala daerah berasal dari visi misi program yang dibuat saat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 45 Ayat 2 Huruf N, kandidat kepala daerah harus mengirimkan naskah visi misi sebagai salah satu dokumen persyaratan pencalonan kepala daerah kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilu. Dalam proses perencanaan pembangunan daerah, visi misi program kepala daerah terpilih akan menentukan arah rencana pembangunan daerah namun pada proses pemilihan kepala daerah (pilkada) visi misi disusun secara sepihak oleh kandidat dan tim tanpa melibatkan partisipasi warga. Visi misi program menjadi dokumen persyaratan pencalonan yang diserahkan oleh kandidat kepala daerah kepada penyelenggara pemilu tanpa bisa diubah lagi. Proses pemilu pada hakikatnya adalah sekadar proses sosialisasi visi misi program para calon untuk meyakinkan pemilih dan bukan untuk mendiskusikan serta mendeliberasikan apa kebutuhan dan kepentingan agar bisa terakomodir dalam visi misi program kandidat.
Tertutupnya ruang partisipasi warga untuk terlibat memengaruhi dokumen visi misi program kandidat membuat mereka tidak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya serta menegosiasikan dalam proses pemilu kepala daerah. Padahal pilkada merupakan momen strategis bagi warga untuk menegosiasikan kepentingan kolektifnya agar bisa diakomodir dalam visi misi program kandidat yang akan menjadi basis alokasi dan distribusi sumber daya dalam RPJMD, RKPD dan APBD. Selama ini proses pilkada berjalan hanya sebatas sosialisasi visi misi program para kandidat kepala daerah. Sistem kepemiluan dan proses depolitisasi mengkondisikan orang menjadi pemilih perseorangan. Warga tidak bergerak secara kolektif dengan mengorganisir diri untuk mengidentifikasi beragam kepentingan dan mendeliberasikan agenda kepentingan kolektif mereka. Sebaliknya para kandidat berusaha meraih dukungan suara dengan menawarkan visi misi program yang disusun secara sepihak tanpa melibatkan warga. Warga didorong untuk menjadi ‘pemilih cerdas’ yang harus memilih ‘orang baik’ untuk menjadi kepala daerah sementara para kandidat harus menjadi ‘orang baik’ dengan visi misi program yang sesuai dengan kepentingan warga, padahal visi misi program tersebut disusun tanpa proses deliberasi dengan warga. Dampaknya, kebijakan pembangunan kepala daerah terpilih tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kebutuhan riil warga.
Momen pilkada menjadi berfokus pada aspek kontestasi untuk pemenangan seseorang menjadi kepala daerah dan melupakan masalah alokasi dan distribusi sumberdaya publik yang mempengaruhi kehidupan warga. Akibatnya, warga kehilangan momentum untuk mengintervensi arah kebijakan pembangunan daerah karena pada masa pilkada warga memiliki daya tawar setara dengan kandidat yang membutuhkan dukungan suara warga. Pada masa pasca pilkada setelah kepala daerah terpilih, warga tidak lagi memiliki ruang strategis untuk memasukkan kepentingannya dalam RPJMD. Meskipun ada forum musrenbang, dokumen RPJMD telah dikunci secara teknokratis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan secara politis oleh visi misi kepala daerah terpilih. Forum musrenbang seringkali menjadi forum sosialisasi bukan forum musyawarah untuk mendiskusikan rencana pembangunan.
Naskah Rekomendasi Kebijakan PKPU_Aliansi