Laporan Riset Kepemimpinan Politik Delapan Kepala Daerah Perempuan: Tarik Ulur Relasi dan Identitas

Diunggah pada

Buku ini merupakan hasil riset Cakra Wikara Indonesia (CWI) tentang Kepemimpinan Perempuan Dalam Pemerintahan Daerah yang dilakukan sejak November 2019 sampai dengan November 2020. Hasil riset mencatat beberapa temuan penting. Perempuan kepala daerah kerap kali dituntut untuk melakukan negosiasi identitas gendernya sebagai strategi mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapi sejak masa pencalonan, kampanye hingga kepemimpinannya. Setidaknya terdapat tiga kondisi yang membuat perempuan harus melakukan negosiasi identitas gendernya. Pertama, karena adanya bias tafsir agama terhadap pemimpin perempuan. Kedua, adanya bias dalam pemberitaan media dan juga pandangan masyarakat terkait urusan privat maupun publik kepala daerah. Ketiga, persepsi yang bias gender terhadap perempuan kepala daerah yang memiliki latar belakang kekerabatan yang dianggap tidak memiliki kepemimpinan atau otonomi dalam menentukan kebijakan; hal yang tidak dialami oleh laki-laki yang sama-sama memiliki latar belakang kekerabatan.

Kepala daerah perempuan menghadapi berbagai tantangan sejak proses kontestasi sampai masa kepemimpinannya. Tantangan terbesar datang dari partai politik, yang sebenarnya memiliki peran kunci dalam memberikan tiket pencalonan bagi calon kepala daerah perempuan yang mengambil jalur pencalonan oleh partai politik. Namun demikian dalam masa kampanye sampai saat terpilih, perempuan justru memperoleh dukungan besar dari kelompok-kelompok perempuan, tim independen yang dibentuk secara mandiri, jaringan relawan dan kalangan masyarakat akar rumput lainnya.

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks pilkada langsung, para perempuan potensial kerap enggan menapak karir menjadi pemimpin bukan karena kapasitas maupun prestasi namun karena enggan menghadapi stereotyping dan stigma yang memojokkan perempuan. Stereotyping dan stigma ini berspektrum luas, mulai dari sorotan tentang kehidupan personal, tata kelola pekerjaan yang kerap dikritisi bias gender dan dilabeli ‘emosional’. Belum lagi tantangan dari kalangan media massa yang menuntut para politisi perempuan bersedia meluangkan waktu wawancara lebih panjang dengan gaya “sebagaimana politisi laki-laki”.

Terkait kekerabatan, CWI berpandangan bahwa pertalian kekerabatan mencederai tahap rekrutmen politik, namun tidak tepat jika kemudian disoroti sebagai problem khas politisi perempuan. Pertalian kekerabatan lebih tepat dilihat sebagai indikasi buruknya proses rekrutmen politik dan potensi berkembangnya politik patronase karena kuatnya kemungkinan terjadi politik balas jasa dan perpanjangan tangan kekuasaan lama yang monopolistik. Riset ini menemukan bahwa kepala daerah perempuan yang terpilih setelah masa jabatan suami selama dua periode berakhir, ternyata tidak otomatis meneruskan atau melestarikan kuasa politik “peninggalan” suaminya. Mereka dapat mendorong kebijakan transformatif hasil inisiatif sendiri, yang menunjukkan perbedaan gaya kepemimpinan dan orientasi kebijakan dibandingkan suami mereka.

Dalam kajian tentang kebijakan publik maupun tentang pemimpin pada beragam lembaga pengambil kebijakan dengan menggunakan perspektif gender, keberpihakan adalah hal penting. Keberpihakan dikedepankan dalam menyusun rencana dan pelaksanaan kajian untuk upaya lebih jauh mendorong penguatan kepemimpinan perempuan. Peningkatan jumlah perempuan penting, demikian juga identifikasi masalah dan tantangan, sehingga jawaban masalah dan strategi dapat dirumuskan untuk menguatkan kepemimpinan politik perempuan di berbagai ranah.

Bagi CWI, pentingnya penguatan kepemimpinan perempuan bukan hanya pada angka tapi juga mendorong proses berbeda dalam pembuatan kebijakan. Perbedaan ini terletak pada gender responsiveness atau sensitivitas atas perbedaan relasi gender yang nyata di masyarakat, yang menjadi harapan yang diletakkan pada pemimpin perempuan terpilih. Harapan besar berada pada kepala daerah perempuan untuk tidak ragu memberikan perbedaan dalam pengambilan keputusan, bukan hanya karena persoalan kesetaraan angka yang harus dikoreksi, namun juga kepekaan dalam membuat prioritas pada agenda-agenda pengambilan kebijakan, pembuatan anggaran dan program pembangunan yang lebih berpihak, lebih setara dan lebih non-diskriminatif bagi beragam kelompok masyarakat. Selain itu kepala daerah perempuan dapat menjadi panutan bagi masyarakat bahwa perempuan memang benar-benar membawa perbedaan ketika dipercayakan menjadi pemimpin dan membuat keputusan-keputusan yang berpihak.

CWI menyampaikan terima kasih kepada para kepala daerah perempuan yang berhasil ditemui untuk riset ini, yaitu Ibu Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Ibu Sri Sumarni (Bupati Grobogan, Jawa Tengah), Ibu Faida (Bupati Jember, Jawa Timur), Ibu Mirna Annisa (Bupati Kendal, Jawa Tengah), Ibu Cellica Nurrachadiana (Bupati Karawang, Jawa Barat), Ibu Anne Ratna Mustika (Bupati Purwakarta, Jawa Barat), dan Ibu Dewanti Rumpoko (Walikota Batu, Jawa Timur). Terima kasih juga kami sampaikan kepada para mitra kerja CWI di berbagai wilayah riset yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data. Seluruh rangkaian riset ini terlaksana dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia. Tim Peneliti CWI berterima kasih atas dukungan yang telah diberikan. Seluruh isi laporan riset yang merupakan substansi buku ini merupakan tanggung jawab dan refleksi pemikiran tim peneliti CWI. Semoga pembaca dapat memetik manfaatnya.

Tim Penulis  : Mia Novitasari, Roni, Dirga Ardiansa

Halaman        : 35 halaman

ISBN               : 978-602-53037-5-3 (PDF)

Penerbit         : Cakra Wikara Indonesia

Tahun            : 2021

Lampiran